“Viooo.. ih, dari tadi ngelukis
mulu?” Oceh Aira yang sempat berada disamping Vio saat itu. Baru saja gadis
berkuncir satu itu mendaratkan dirinya disebuah kursi yang memanjang yang
berada didepan taman kompleks.
Vio
masih berkutat dengan kanvas yang kini berada tepat dihadapannya. Seolah-olah
ocehan Aira tak ia gubris, semakin cepat jemari itu mengarahkan satu kuas yang
baru saja terisi warna biru pekat. Dan perlahan jemahan jari itu menari-nari
diatas kanvas tanpa coretan.
Sesekali
Vio mencoba berdehem, ketika Aira menyenggol pundaknya, yang sempat meneteskan
beberapa cat dengan sembarang diatas kanvas. Lagi-lagi alis Vio terangkat dan
menoleh pada Aira.
“Airaaa!!
Bisa nggak, nggak usah bawel? Giliran aku ganggu kamu nulis saja, kamu malah
marahin aku. Nah sekarang, giliran aku marahin kamu. Soalnya kamu udah ganggu
aku ngelukis,” Sambar Vio, ia mengangkat kedua tangannya yang ia lipatkan
didadanya.
“Yaa
dari pada aku dicuekin mulu,” Gerutu Aira, sembari mendengus kesal. Sejenak ia
memainkan kedua kakinya.
“Pas
kamu nulis saja, aku dicuekin nggak masalah.” Balas Vio, dengan memeletkan
lidahnya didepan Aira. Dan kembali memfokuskan lukisannya yang belum tuntas.
Namanya
Vio. Ceria, humoris, kadang kala suka jail dan penyuka lukisan dan beberapa
komik bergambar. Dari jemarinya mampu mewujudkan lukisan-lukisan yang tergores
dengan lihai. Dalam benaknya sangat berpikir imajinatif dan menciptakan
karya-karya gambar yang kreatif. Kanvas dan beberapa kuas, serta cat minyak adalah
mainannya saat dihari-hari bosannya telah tiba.
Aira
sangat mengenal Vio, gadis yang menurut Aira sangatlah unik. Penampilan yang
sangat sederhana, dan mudah bergaul dengan siapa saja yang telah mengenalnya.
Penyuka satu kartun yang tak bisa ia hentikan jika ia melukis, kartun minion.
Ini cerita seorang gadis penyuka lukisan dengan senyum tawa dibalik seorang
Vio.
Pohon-pohon
yang menjulang tinggi hingga beberapa meter diperkarangan rumah yang cukup
terlihat sederhana. Riuhan angin yang seakan meneriakkan tiupan diselah-selah
ruang udara. Jemari itu masih saja tak terhenti bersajak penuh dengan keceriaan
dibalik nada senyumannya. Sebuah lukisan tentang anak kecil yang sedang
menggigit buah apel disamping pohon apel itu tumbuh. Perlahan-lahan imajinasi
begitu ia tumpahkan diatas kertas berukuran lebar dan memanjang, dengan
ditopangkan dua kayu kecil dibaliknya.
Beberapa
kuas yang berjejer rapi disisi kanvas, telah menerpah penglihatannya dengan
senyuman yang terulas pada gadis itu. Dan cat minyak dengan berbagai warna,
cerah dan pastel sangat memanjakan kuas yang tergenggam dengan mencorat-coret
lihat diatas kanvas.
Baru
saja Aira sejenak pamit balik ke kos sekitar sejam yang lalu pada Vio yang
sedang sibuk dengan lukisannya. Bahkan sejak Aira datang melihat gadis itu
sibuk mencoret kanvas, dan Vio tak menggubris ocehan Aira yang kelewat bawel
disampingnya. Dasar gadis itu sangat sibuk dan tak ingin diganggu jika
menyempatkan waktu dengan hobinya.
Sesekali
Vio menghirup udara segar dibalik sapaan pagi. Cuaca dihari itu sangat menginspirasi
bagi Vio, jika sejenak ia sempatkan besenda gurau dengan kuas dan kanvas yang
menghasilkan coretan lukisan yang menyejukkan mata. Semua membuat Vio damai dan
merasa tenang jika lukisan selalu menemaninya.
‘Tap.. Tap.. Tap..’
Derap
langkah kaki itu terus menelusuri tapakan terjal diantara kerumunan daun-daun
teh yang sempat bertebaran tanpa permisi. Tetap saja dengan tatapan tersorot
seakan lurus ke depan mengikuti jalur yang ia jejaki. Lelaki pemuda dengan
potongan rambut cepak dan jumper hitam pekat itu tak terhenti mengayuh sepeda
abu-abu tuanya dengan hati-hati. Sembari melukiskan senyuman dengan menatap
beberapa pekerja petani kebun teh disana. Sangat unik, dengan pakaian kebaya
jaman lampau dan lumayan lusuh. Serta topi hampir berbentuk setengah kerucut
berwarna kuninga kecokelatan melekat dikepala petani tersebut. Dan dengan
lihainya jemari itu seakan penuh tenang mencabut beberapa teh yang terhampar
dihadapan mereka. Lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang cukup besar,
terbuat dari anyaman bambu dan digendong dibalik tubuhnya.
Pemuda
itu menghentikan kayuhan sepeda onthel abu-abu tua miliknya. Dan seolah mulai
melangkah dengan kaki-kakinya, menyusuri tapakan terjal disana. Masih dengan
menuntun sepeda itu hingga mengikuti arahnya berjalan. Tatapannya baru saja
menangkap seorang gadis dibalik pagar besi menjulang tinggi disana. Dengan
kanvas dan beberapa kuas serta cat minyak tergeletak tepat sangat dekat pada
gadis itu. Sembari ia membenarkan posisi bingkai kaca matanya dengan benar. Dan
mencoba menghela nafas sembari bersenda ria dengan objek penglihatannya saat
ini.
Ia
kembali mengulas senyuman yang cukup penuh nikmat menatap dengan fokus pada
gadis itu. Begitu jemari-jemari seakan bebasnya menari-nari dibalik kanvas,
sangat menyejukkan tatapan jika ia benar-benar melihat apa yang gadis itu
lukis. Namun bukan itu yang dimaksud oleh pemuda itu. Ia menyadari akan
mengagumi gadis dengan potongan rambut sebahu dan lumayan curly disana.
“Gav,”
Panggil
suara dari arah belakang pemuda yang masih saja menggenggam sepeda onthelnya.
Dengan cepat ia menoleh ke arah tepat suara yang baru saja menyapanya.
Tampak
sekali sosok laki-laki sebaya dengannya begitu mendekat ke arah Gavriel yang
masih bertopang dengan sepeda.
“Kamu
kok disini?” Tanya Gavriel, sembari menautkan kedua alisnya.
“Eh,
jangan kira aku tuh nggak tahu, kamu lagi ngapain disini.” Ujar pemuda berkaos
putih tepat disamping Gavriel.
Pemuda
itu baru saja mendaratkan sepeda yang sama dengan Gavriel disana, tepat didepan
gerbang besi dihadapan mereka. Lagi-lagi Gavriel menghela nafasnya, ia
mengkerutkan kening seakan menghadap ke arah bawah. Genggamannya masih
bertopang diantara gagang sepeda.
“Van,
coba saja jariku bisa mengatur jarum jam. Dari awal, aku nggak akan pernah
terjebak dalam situasi ini. Sampai aku nggak tahu, mana bedanya cinta dan rasa
suka,” Ucap Gavriel.
Sembari
Vano menghela nafas, ikut menatap satu gadis dibalik kanvas dengan berjara
cukup jauh dari mereka. Mengikuti arah Gavriel menatapi objek tersebut disana.
Vano menautkan kedua alisnya dan berbalik menatap manik-manik kristal diantara
kedua mata Gavriel sahabatnya.
“Kalau
boleh jujur, bukankah kita merasakan hal yang sama? Merasakan perbedaan dari
kedua rasa yang sama sekali sulit terungkap. Ikuti sajalah alurnya, toh semua
akan indah pada waktunya.” Balas Vano dengan senyuman getir.
“Aku
tahu kita sama, sama-sama tak bisa memilih akan kemana jejakan hati itu
mendarat.” Kata Gavriel.
“Sudahlah,
hayoo kita jalan-jalan lagi, keliling kebun teh kan asyik tuh.” Seru Vano,
dengan cepat ia mengayuh sepedanya lagi. Menyusuri tapakan tanah dengan
pandangan lurus mengikuti alur ke depan.
Begitu
pun setelah Gavriel melontarkan kembali senyumannya pada gadis dibalik gerbang
sana. Arah Gavriel mengikuti Vano dari belakang, sama menelusuri kebun kembali
dengan kayuhan sepeda onthel mereka.
‘Brukk’
Hingga
beberapa kuas tak sengaja tersenggol mengenai cat minyak yang tergeletak diatas
meja. Mata Vio tertuju pada tumpahan cat minyak yang sempat berceceran
membentuk hiliran sungai diatas rumput dekat arahnya. Hampir saja Vio menatap
sekilas dibalik gerbang besi perkarangan rumahnya.
Ia
kurang begitu menyadari sedari tadi akan
tatapan seseorang dibalik gerbang. Seolah yang Vio lihat hanyalah kayuhan
sepeda dari dua pemuda sebaya yang menyusuri jalanan rumahnya. Sembari Vio
mengerutkan keningnya, dan menyibukkan dirinya kembali membereskan cat-cat
minyak yang bececeran disana.
‘Kira-kira siapa ya dia?’ Batin Vio.
Masih
saja ingatan Vio tertuju pada sepeda abu-abu tua disudut depan gerbang tadi. Meski
ia hanya melihat sekilas siapa gerangan yang mulai mengincar dirinya dibalik
pagar besi disana. Vio memang tak bisa melihat jelas siapa dia, ia tetap saja
fokus pada lukisan yang baru saja ia garap sedari tadi. Setahu Vio, ia hanya
butuh tak melupakan tatapan seorang pemuda dengan sepedanya dibalik pagar besi
diperkarangan rumah yang ia pijaki saat ini.
***
Sepeda
abu-abu tua itu begitu mendarat ketika sampai dsebuah rumah bercat biru tua
disana. Sembari Gavriel membenarkan bingkai kaca matanya, dan meletakkan sepeda
onthelnya begitu saja tepat disamping pohon yang cukup besar, sangat berjarak
dekat dengan rumah bercat biru tua disana.
Langkah
kakinya perlahan memasuki pintu rumah, “Assalamualaikum,” Sapa Gavriel dengan
salamnya saat menerobos pintu rumah.
Sesekali
jemarinya menyerobot secangkir mocca yang berada diatas meja ruang tamu. Seteguk
hingga dua tegukan hingga membasahi ruang kerongkongan, ia menghela nafas dan
meletakkan kembali mocca yang baru saja ia minum.
Dan
kembali fokus dengan langkahannya hingga memasuki setiap ruangan berbeda. Sejenak
mencari-cari penghuni rumah disana, matanya tak segan-segan menelusuri setiap
ruangan. Tapi alhasil nol juga, mungkin penghuni seisi rumah sedang menjalankan
aktivitas kerja mereka diluar. Lagi-lagi Gavriel merasa sendiri, saat ia ingin
merasakan ada orang yang mempedulikan ia sebagai anak tunggal satu-satunya
dikeluarga tuan Tora. Nama ayah dari Gavriel sendiri, ia tetap bersama kedua
orang tua dirumah itu dan satu orang asisten rumah tangga yang kesehariannya
menyiapkan keperluan pemilik rumah.
Sembari
pemuda berkaca mata itu mendaratkan dirinya disalah satu sofa ruang keluarga. Dan
menyalakan televisi yang berjarak dekat dengan sofa yang ia duduki.
“Eh,
aden Gavriel sudah datang? Memangnya nggak ada jadwal kuliah ya, Den?” Tanya
seorang wanita paruh baya yang baru saja menghampiri Gavriel.
Saat
ia mendengar suara televisi yang menyala diruang tengah. Ia memang sejak lama
tinggal dirumah itu bersama keluarga keci tuan Tora. Serta mengurusi semua
keperluan rumah dan sekaligus mengurus Gavriel dirumah. Bibi tahu betul, tuan
Tora sangat sibuk akhir-akhir ini, apalagi Nyonya Tora sebagai ibu Gavriel. Kedua
pasangan itu sama-sama merintis dunia karirnya dengan bisnis.
“Gavriel
libur, Bi.” Ucap Gavriel lengah.
“Ya
sudah, aden mau minum apa? Biar bibi buatin,” Kata Bibi lagi.
“Es
lemon tea aja, Bi.” Balas Gavriel singkat.
Dengan
langkah cepat Bibi meninggalkan pemuda itu diruang tengah, dan mulai membuatkan
pesanan pemuda berkaca mata itu didapur.
Perlahan
jemari Gavriel meraih sebuah majalah yang berada diatas meja depan sofa yang ia
duduki. Dengan cepat ia membuka lembar per lembar yang tertumpuk disana. Sejenak
mengamati isi per isi dari bagian bab yang ia buka.
Tiba-tiba
jemari itu terhenti, saat telunjuk Gavriel mengarahkan ke salah satu topik
berita yang lumayan fresh dibaca. Salah satu berita yang membahas tentang
launching taman raya baru dikotanya. Taman Raya Tracks Played, adalah
satu-satunya taman yang berbentuk semirip rupa dengan dufan yang baru saja
selesai dibangun minggu kemarin. Dengan objek yang dibuat sedemikian rupa dan
beberapa taman bunga serta wahana-wahana yang sangat menarik. Gavriel hanya
tersenyum sekilas, dan menutup majalah itu kembali. Melemparkannya ke
sembarangan tempat diatas meja.
‘Teng.. Tong..’
Begitu
suara bel berbunyi hingga dua kali deringan dari luar pintu rumah. Dengan segera
bibi menuju ke arah pintu, dan membukanya sejenak. Dihadapan bibi saat ini
terlihatlah seorang pemuda dengan potongan rambut yang cukup dibuat asal-asalan.
Dan kaos putih serta dilapisi hem biru denim polos, pemuda yang seumuran dengan
Gavriel. Dan siapa lagi, kalau bukan Vano yang datang mengunjungi rumah Gavriel
disiang itu.
“Gavrielnya
ada, Bi?” Tanya Vano dengan mengulas senyuman.
“Oh,
aden Gavriel ada. Sebentar, bibi panggilin dulu ya,” Ujar wanita paruh baya itu
dan membalikkan arahnya hingga memasuki ke ruang tengah.
Disana
masih terlihat Gavriel yang sedang santainya menikmati es lemon tea dan
tontonan televisi diruang tengah.
“Aden
Gavriel, ada yang cari didepan.” Kata Bibi, yang sempat membuat Gavriel menoleh
ke arahnya.
“Siapa,
Bi?” Tanya Gavriel.
“Seperti
biasa, den Vano yang datang.” Kata Bibi lagi.
Gavriel
hanya mengangguk paham, sementara bibi kembali membalikkan arahnya ke dapur
rumah. Dengan cepat Gavriel beranjak dari sofa dan segera menghampiri Vano yang
menunggu dirinya diruang tamu.
***
Jam
menunjukkan pukul 10.00, suasana yang setengah siang dan setengah pagi. Langkahan
itu sama sekali enggan terhenti menyusuri tapakan aspal yang cukup luas. Hari itu
Vio bersama Aira sedang mengunjungi salah satu taman raya yang baru saja dibuka
seminggu yang lalu. Taman Raya Tracks Played.
Tampak
disekeliling mereka terdapat beberapa wahana bermain yang cukup menarik bila dinikmati.
Dan beberapa taman bunga serta wahana taman labirin terjejer disana. Senyum dan
canda tawa begitu menghiasi diantara mereka berdua. Sejenak memotret dan
berfoto ria disekitaran taman. Apalagi saat mereka menikmati beberapa wahana
yang cukup menarik perhatian untuk dikunjungi. Komedi putar, Perahu ayun,
Kicir-kicir, dan beberapa tempat permainan air yang cukup menantang dan
menarik.
Sementara
disisi lain, Gavriel yang masih sedari tadi tak membuka omongannya disamping
Vano. Mereka masih berjalan dan menatap sekeliling yang cukup asyik dipandang
oleh kedua mata mereka. Masih ditempat yang sama, disalah satu taman raya
tracks played. Pemuda berkaca mata itu sejenak menyelipkan kedua telapak
tangannya diantara saku-saku celana jeans yang ia kenakan. Sedang lelaki yang
bersamanya masih merasa nyaman berkutat dengan pandangannya disekitaran taman
baru disana.
“Gav,
kamu nggak mau coba main wahana disini? Seru-seru loh, sekali coba pasti
ketagihan deh,” Seru Vano.
Gavriel
hanya mengangkat sebelah alisnya penuh pemahaman yang cukup dihadapan pemuda
bertubuh jangkung itu. Dan sembari mengangkat kedua bahunya, menandakan bahwa
pemuda berkaca mata itu enggan tertarik menerima tawaran sahabatnya.
“Kalau
gitu aku saja yang coba, kamu nggak apa-apa kan, kalau aku tinggal bentar?”
Gumam Vano.
“Aku
sudah terbiasa sendiri,” Balas Gavriel.
Dengan
senyuman getir, Vano melangkah cepat meninggalkan Gavriel berdiri
ditengah-tengah keramaian pengunjung disana. Namun Gavriel masih saja tak
mempedulikan itu semua. Ia tetap saja menelusuri jalanan setapak diatas
hamparan aspal yang tak terjal lagi, tak sama yang biasa ia nikmati pemandangan
diperkebunan teh dekat rumahnya.
Aira
masih saja asyik memilih gulali manis yang ia suka, biasanya gadis itu penyuka
warna pink. Alhasil yang lihat pertama kali, ialah gulali berwarna pink yang
tergantung disana. Bukan karena ia merasa lapar, hanya saja Airatak tahu
mengapa dirinya begitu melangkah ke arah penjual gulali manis dipinggiran
taman. Dia tetap ditemani oleh Vio disana. Namun satu kebiasaan Vio, setiap
kali Aira mengajaknya jalan-jalan. Vio masih saja tak lepas dari buku sketsa
dan satu buah pena serta cat air yang ia bawa kemana-mana.
Lalu
dari arah yang cukup tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu dekat dipandang. Vio
mengamati sebuah taman yang didalamnya terbentuk bagai labirin-labirin yang
cukup menarik baginya. Ia menoleh sekilas pada Aira, gadis itu masih saja belum
selesai memilih-milih gulali manis. Cukup menghela nafas, akhirnya Vio memilih
meninggalkan Aira disana. Langkahannya malah tertuju pada taman labirin tepat
disudut sana, baru saja Vio mengamati taman itu.
Perlahan
langkahan Vio memasuki taman labirin disana, masih dengan buku sketsa dan
peralatan menggambar yang ia genggam. Dan begitu menelusuri tapakan-tapakan
jalanan disetiap jalur. Sangat menyejukkan pandangan bila diamati, pantas saja
taman ini cukup ramai pengunjung. Apalagi beberapa diantaranya memasuki taman
labirin yang sedang Vio pijaki. Beberapa batang dahan penuh dengan daun-daun
terjejer rapi disetiap sudut, menjulang tinggi melebihi tubuh Vio saat itu. Dan
beberapa ruangan banyak sekali pintasan-pintasan yang cukup membingungkan
perjalanan. Namun Vio masih tak menghentikan langkahannya, benaknya berharap
menemukan sebuah tempat untuk bersantai ria disana, dan sejenak memberikan
waktunya untuk menggambar sketsa disana. Vio tak sabar menggambar lagi, meski ia
tak bersama satu kanvas saat ini.
‘Dear kertas putih tanpa coretan, bolehkah
aku melukiskan sketsa ku kembali disana? Aku ingin menggoyangkan pena yang ku
genggam saat ini diatas kertas putih bersih disana. Disinilah aku melangkah,
disinilah aku berpijak. Mungkin disinilah aku menemukan entah siapa yang akan
ku ketahui, satu senyuman yang terulas dibalik sana. Mengamatiku dan melukiskan
sketsa senyuman utuh yang terpampang dideretan bibirnya.’ Batin Vio.
Jemarinya
mulai menari-nari bebas seolah seperti anak kecil yang mencoret-coret sebuah
gambar diatas kertas. Vio suka akan kebiasaannya itu, kebiasaan yang tak pernah
ada kata bosan bila ia merasa jenuh disetiap waktu berjalan.
Vio
seolah-olah begitu mengingat pemuda yang biasa menatapnya ketika ia bermain
bersama lukisan-lukisannya. Pemuda itu memakai kaca mata dan biasanya selalu
mengendarai sepeda abu-abu tua dan berhenti didepan gerbang perkarangan rumah
Vio. Meski Vio belum melihat jelas wajahnya, namun Vio merasakan senyuman serta
pancaran bingkai sinar dibalik bola-bola kristal, menatapnya seakan begitu
fokus terhadapnya.
‘Tap.. Tap.. Tap..’
Jejak
langkah itu seakan terhenti, ketika kedua binar matanya begitu tersorot tertuju
pada objek yang baru saja ia amati. Seorang gadis berpotongan rambut sebahu
dengan topi merah yang gadis kenakan. Masih bertopangkan dengan buku sketsanya
dan sembari duduk diantara labirin-labirin disana. Gadis itu begitu tak
mengubris keadaan orang-orang yang berlalu lalang sekilas lewat didepannya. Gavriel
sangat hafal kebiasaan gadis itu, bila buku sketsa maupun kanvas dan beberapa
kuas serta pena dan cat minyak serta cat air menemaninya. Ia tak kan sama
sekali mengubris yang lain, ia hanya memfokuskan gambar dan lukisan yang ia
buat. Entah mengapa senyuman Gavriel kembali terlontar pada gadis yang masih
duduk yang cukup dekat dilihat.
“Na..
na.. na.. na..” Begitu lantunan nada yang Vio nyanyikan, sejenak menyemangati
dirinya dengan beberapa garis sketsa yang ia buat diatas kertas.
Gavriel
masih saja tak terhenti menatap Vio dari arah yang cukup dekat. Dibalik pintasan
labirin yang akan berbelok ke arah Vio stand by. Gavriel masih saja tak
melanjutkan langkahnya, entah apa ia enggan melewati satu objek yang beberapa
kali menjadi sasaran penglihatannya. Gadis penyuka lukisan dan lumayan berani
bergaya bebas dengan dirinya sendiri.
Sementara
objek yang dilihat Gavriel, masih sibuk dan terlalu asyik memfokuskan sketsa
gambarnya disana. Dan sejenak melapisi sketsanya dengan beberapa cat air yang
tergeletak diatas aspal disisinya.
‘Brukk’
Tangan
Vio tersentak saat mendapati beberapa cat air yang tak sengaja ia senggol
kembali. Beberapa warna dan air yang terjejer rapi tumpah menyeruakkan warna-warna
yang cair disisi Vio. Dengan spontan Gavriel mendekat ke arah Vio yang tampak
sibuk membereskan cat-cat air yang berceceran. Jemari itu tak sengaja
tersentuh, dengan sigap Vio menoleh ke hadapannya. Dengan spontan kedua alis
itu bertautan, seakan tak mengira ia benar-benar menemukan seorang yang baru
saja menjadi objek sketsanya.
‘Lelaki itu, bukannya..’ Batin Vio,
ingatannya tertuju pada sosok pemuda yang sekilas ia lihat dibalik gerbang
perkarangan rumahnya. Disetiap kali Vio bermain bersama kanvas-kuas- dan cat
minyak.
Dengan
cepat Vio membalikkan tolehannya ke arah lain, ia segera menutup gambar sketsa
yang baru saja ia buat dengan jemahan penanya. Bagaimana pun lelaki itu tak
boleh tahu, apa yang baru saja ia gambar didalam buku sketsanya. Vio masih saja
bungkam, Gavriel masih saja sibuk membereskan cat-cat air yang berceceran
disana.
‘Deg’
Entah
apa yang Vio rasakan, sepertinya cuilan itu begitu mengendap-ngendap diantara
ruang kosong didalam hatinya. Tatapan yang penuh makna, Vio menyadari pemuda
itu sempat membuatnya merasakan melayang hingga menerobos awan-awan yang
bergelantungan. Dengan tatapan yang cukup teduh dan tenang jika pemuda itu
mengamati Vio penuh dengan seksama.
“Makasih,”
Ucap Vio singkat, ia kembali beranjak dihadapan pemuda berkaca mata itu. Dan sejenak
membalikkan arahnya membelakangi pemuda itu.
Dengan
langkah cepat, Vio terburu-buru melangkah dari hadapan Gavriel. Ia tak tahu
mengapa dirinya begitu cepat salah tingkah berhadapan dengan satu pemuda
berkaca mata itu. Gavriel yang masih terpaku mengamati Vio dari arah belakang
punggungnya. Kini yang hanya tergenggam dijemarinya, hanya buku sketsa dan
beberapa cat air serta pena cokelat disisi sepatu Gavriel.
Ia
perlahan meraih buku sketsa milik gadis bertopi merah yang baru saja tiba-tiba
menghindarinya. Beberapa gambar sketsa terlihat jelas dan sangat unik diamati. Hingga
dilembaran terkahir, gambar itu ialah seorang pemuda berjaket hitam- berkaca
mata- dan bertopang pada sepeda onthel abu-abu pekat. Semua sketsa jelas
sebagian terlukis, seulas senyuman Gavriel penuh arti menatap gambar dirinya
dibalik sketsa yang baru saja Vio buat.
***
Masih
dalam suasana taman raya, Vio masih saja enggan menghentikan langkahannya. Ia ingat
benar, ia meninggalkan Aira dijajanan gulali manis dipinggir taman raya. Namun objek
yang dicarinya malah menghilang, dan kemungkinan besar Aira juga mencari Vio
ditaman itu. Belum sempat Vio melangkah, kakinya hampir saja menendang sebuah
botol.
Lagi-lagi
Vio mengkerutkan kening, ia begitu seksama mengamati botol yang berada
dihadapan kakinya saat itu. Sebuah botol yang berukuran cukup memanjang dan
diujungnya terdapat sebuah spons kuning tuk menutup mulut botol. Tampak jelas
didalamnya terdapat gulungan kertas yang cukup memenuhi ruang botol itu. Dengan
sigap Vio mengambil botol itu, hingga beralih ke genggamannya dengan cepat. Masih
saja Vio mengamati gulungan kertas didalam botol itu.
Sembari
Vio mencoba mengarahkan penglihatannya ke arah kanan dan ke kiri. Hingga ke
sekeliling halaman taman, masih banyak kerumunan lalu lalang orang-orang
sekitar seperti mengeliling dirinya. Vio mengangkat bahunya, ia kembali
menelusuri tapakan jalanan disana. Seakan ia memilih jalan lurus ke depan,
berharap ia akan menemukan Aira saat itu juga.
Langkah
Gavriel seolah terhenti tepat dihadapan beberapa wahana taman raya. Ia tetap
mengamati satu persatu orang-orang sekitar, yang berlalu lalang dihadapannya. Genggamannya
masih berkutat dengan buku sketsa dan pena serta cat air. Gavriel menghela
nafas, objek yang ia cari masih saja tak ia temukan.
Sementara
itu pemuda berkaca mata itu mengulas senyumannya lagi. Bukan hanya pada
peralatan menggambar yang tergenggam. Namun prasaan legah, benaknya berkata, ia
harus menyatakan semua yang ia sembunyikan selama ini pada objek yang selalu ia
amati. Gavriel kembali melangkah, mengikuti jalanan setapak disana.
Vio
mendaratkan dirinya disebuah bangku putih yang begitu memanjang disekitaran
taman bunga. Sudah berapa kali ia menyusuri jalanan taman raya, berkeliling ke
satu tempat hingga ke tempat lainnya. Masih saja Vio tak menemukan Aira disana,
kemana dia? Apa ia sudah tak berada ditaman ini? Entahlah Vio hanya bisa
menebak-nebak apa yang ada dibenaknya.
Botol
yang sedari tadi genggam, Vio sempat mengamatinya kembali. Seakan menerawang
apa gerangan isi surat didalam botol itu. Tumben saja ada orang yang menulis
lembaran yang diletakkan ke dalam botol. Memang tampak unik, entah kenapa hati
Vio semakin saja menggebu. Ada secuil yang datang dan memasuki relungan
hatinya, begitu membrikan isyarat pasti.
Agar
ia segera membaca isi surat yang tergeletak didalam botol secepatnya. Dengan cepat
Vio mengeluarkan gulungan kertas didalam botol, sembari perlahan membukanya
penuh dengan rasa tenang.
Deretan
satu kata hingga beberapa kata terbungkus rapi membentuk beberapa kalimat. Entah
apa yang membuat hati Vio seakan tersentuh, mengamati disetiap baris kalimat
diantara jejakan yang tertulis disana.
Dear gadis penyuka lukisan,
Diantara kalimat yang terbungkus deretan kata cinta,
entah apa rasanya disetiap goresan pena yang begitu melukiskan sebuah tulisan dilembaran kosong tanpa sketsa.
Hingga jemahan jemari itu begitu menari-nari seakan bebas mencoret sketsa diatas lembaran kosong disana.
Entah apa yang membuat diri ini tak bisa berkata akan adanya prasaan yang berbeda.
Ketika jejakan mata ini menatapi objek yang sedang melukis dibalik kanvas yang masih utuh.
Kalau saja bibir ini bisa mengungkapkan suatu rasa,
harapanku rasa ini akan sama dengan coretan sketsa yang sejenak terlukis diatas kanvas.
I Love you,
not since your pen strokes depict a smile behind the eye glass frame.
I love you ,
since two light my eye caught an angel reconcile my heart just like this .
From pemuda dibalik gerbang
perkarangan,
Vio
menutup kembali lembaran surat botol itu, dan meletakkannya ke dalam botol sama
seperti pertama kali ia temukan. Entah apa yang kembali mengendap-ngendap
memenuhi ruang hati Vio saat itu. Ia menginginkan satu ulasan senyuman penuh
makna yang ia lukiskan sendiri dideretan bibir mungilnya.
Sembari
Vio menoleh ke arah samping kanannya, tepat disebuah wahana komedi putar. Satu gadis
sebaya yang baru saja ia lihat sedang berdiri sendiri disana. Sembari celingak-celinguk
ingin mencari-cari sesuatu. Tampak banyak kata, Vio menarik langkahnya menuju
wahana komedi putar, tepat didepannya.
“Aira..”
Sapa Vio, sembari menepuk pundak Aira. Membuat gadis itu menoleh seketika ke
arahnya.
“Vio,
kamu itu kemana saja sih? Aku dari tadi cari kamu, sampai aku bosan tahu. Ya sudah,
aku main-main saja dikomedi putar ini.” Sambar Aira sembari menghela sejenak.
Vio
hanya tersenyum saat itu, dan penglihatannya begitu terarah ke sebelah
kanannya. Disana berdirilah sosok pemuda berkaca mata, yang baru saja Vio temui
dilabirin tadi. Hanya saja Vio cepat menghindari pemuda berkaca mata itu.
Pemuda itu sembari menuntun sepeda onthel abu-abu tuanya tepat didepan
penglihatan Vio. Gavriel sempat melempar senyuman ke arahnya.
Seulas
senyuman yang seakan terlukis diantara keduanya, apalagi saat pemuda itu begitu
jelas menyatakan isi hatinya lewat tulisan lembaran kertas dalam botol. Perkata
yang membungkus membentuk sebuah kalimat, Vio menyadari akan hatinya menyukai
pemuda itu.
‘ ’
“Vio..
Kamu lagi liatin apaan sih?” Gertak Aira, saat mendapati sikap Vio yang seakan
membeku dengan mengulas senyuman.
“Eh,
nggak apa-apa kok, aku mau nunjukin sesuatu sama kamu, Raa.. pokoknya tempatnya
itu bagus banget, ikut yuk?” Gumam Vio, yang seakan setengah sadar dari
lamunannya.
Dengan
sigap Vio menarik lengan Aira, yang jelas-jelas gadis disampingnya itu masih
dengan asyiknya mengunyah gulali manis disana.
‘Tutt.. Tutt..’
Suara
ponsel Aira bergetar tepat diselah saku rok panjang yang ia kenakan. Aira merogoh
ponselnya dengan cepat, dan sembari mengangkat telfonnya.
“Hallo?
Oh, oke-oke,” Selesai Aira berkutat bergumam dengan telfonnya. Ia meletakkan
kembali ponselnya diselah sakunya. Dan sembari menoleh ke arah Vio dengan mengkerutkan
keningnya.
“Vioo..
sorry ya, aku balik dulu nggak apa-apa kan? Soalnya aku lupa, kalau sekarang
mau balikin buku-buku yang aku pinjam ke perpus kemarin.” Gerutu Aira.
“Kan
balikin bukunya bisa nanti saja?” Balas Vio,
“Iya
nggak bisalah, soalnya Sheryn sudah nungguin dari tadi. Ehmm.. liat tempatnya
kapan-kapan saja deh, janji deh. Kalau gitu aku duluan ya, byee Vioo..” Gumam
Aira, sembari ia melambaikan jemarinya pada Vio, dengan senyuman yang cukup
lebar. Langkahnya dengan cepat meninggalkan Vio yang masih tengah berdiri
didepan komedi putar.
Vio
mengarahkan tatapannya ke arah semula, dan yang jadi objek sasaran tatapannya
malah menghilang dengan cepat. Vio menghela nafas perlahan, lalu ia melanjutkan
langkahannya lagi.
***
“Van,
tapi aku nggak yakin deh, cara ini bakalan berhasil.” Ucap Gavriel.
Vano
yang masih sibuk dengan beberapa kanvas yang ia letakkan tepat dihadapan
Gavriel saat itu juga. Sembari ia meletakkan beberapa cat minyak- dan beberapa
kuas yang berbeda disamping beberapa kanvas. Buku sketsa dan cat air yang
Gavriel genggam sedari tadi, berada tepat disamping bangku yang mereka duduki. Vano
hanya menautkan kedua alisnya, dan menghela nafasnya perlahan. Ia menelan ludah
sejenak, dan menepuk pundak Gavriel yang masih menatap kanvas-kanvas yang saat
ini berada didepannya.
“Gav,
percaya deh sama aku. Aku yakin kamu pasti bisa, aku tahu kamu juga sering
ngelukis dibuku gambar. Dan yang aku lihat, lukisan-lukisan kamu cukup bagus. Ini
demi prasaan kamu. Aku juga nggak maulah, ngelihat sahabat aku, masih saja
takut untuk mengungkapkan sesuatu. Makanya aku pilih cara ini, secara gadis
yang kamu suka, dia sangat menyukai lukisan. Jadi nggak ada salahnya, jika bibir
sulit berkata, tuangkan kata-kata yang ingin kamu ungkap diatas kanvas. Biarkan
kanvas yang berbicara,” Kata Vano, jemarinya sembari mengetuk kanvas yang masih
putih dan kosong disana.
Gavriel
menghela nafasnya sejenak, tatapannya masih saja fokus pada kanvas yang
didepannya. Sembari jemarinya telah menggenggam satu kuas dan dilapisi warna
cat disana. Kedua kelopak mata Gavriel terpejam, ia mencoba meyakinkan dirinya
jika ia pasti bisa. Hembusan nafasnya, menjadikan ia mulai melukis disana. Jejakan
jemari itu ia biarkan menari-nari bebas diatas kanvas-kanvas yang mulai coret
disana.
Sedang
Vano megulas senyumannya menatap Gavriel dan kanvas yang Gavriel lukisa disana.
Masih setengah lukisan yang jadi saat itu, pemuda itu seakan menuangkan isi
hatinya diatas kanvas sana. Dengan telaten, Gavriel tetap berkutat dan fokus
diatas kanvas sana.
Hingga
beberapa jam berlalu, hari berganti sore. Masih dengan suasana taman, entah apa
yang menarik langkahan Vio untuk kembali masuk ke arah taman labirin disudut
itu. Sejenak gadis itu menoleh ke arah sekitar, suasana taman itu masih saja
cukup ramai pengunjung. Entah kenapa hati Vio menganjal, tumben saja ia melihat
ke taman labirin yang akan ia masuki. Tertulis diatas pintu masuk labirin, ‘Welcome To Love Jungle- Dear Violet Pascal’.
Taman
labirin itu sangat tidak seperti biasanya, sangat sepi pengunjung yang memasuki
taman labirin disana. Vio mulai bertanya-tanya heran didalam hatinya,
langkahannya memilih memasuki taman labirin disana.
‘Tumben? Disini ada pajangan tulisan seperti
ini? Dan dibawahnya ada nama ku?’ Batin Vio.
Tap!
Tap!
Tap!
Langkah
Vio berhasil menembus taman labirin, disana seakan-akan ia mulai bertanya-tanya
heran dibenaknya. Beberapa lukisan yang terpajang rapi seakan menderet dari
pintu masuk taman. Hingga menderet menjajar memanjang ke arah disetiap lengkungan
arahan labirin. Vio tetap saja menatap satu persatu lukisan disana, disetiap
lukisan terpajang foto dirinya dan tercantum namanya disana. Vio tetap saja
enggan menghentikan langkahnnya, ia hanya bertanya heran, semuanya disana
sungguh diluar dugaannya.
Hingga
beralih ditengah-tengah labirin, langkah Vio terhenti disana. Ia menemukan satu
kanvas yang cukup lebar dan berukuran melebihi kanvas yang biasa ia lukis. Diatas
kanvas itu terdapat kain penutup yang lebar seakan menutup separuh dari
lukisan. Disamping kanvas terdapat beberapa kuas dengan tatanan yang rapi, dan
warna-warna cat minyak serta buku sketsa dan cat air diatas meja. Vio sangat
ingat, ia sampai lupa dengan buku sketsa dan cat air yang sedari tadi ia bawa. Terakhir
kali buku dan cat air itu ia tinggalkan begitu saja, saat mendapati pemuda yang
berdiri didepannya begitu mendekatinya disana.
Dan
saat ini, ia menemukan buku sketsa dan cat airnya tergeletak disana. Bersamaan dengan
kanvas dan kuas serta cat minyak dengan bermacam-macam warna.
Diatas
kanvas itu masih tertulis ‘Open’,
perlahan Vio membuka kain penutup lukisan diatas kanvas itu. Dengan cepat
jemahan jarinya terhenti, masih menggenggam kain penutup. Ia mendapati lukisan
yang berbentuk sayap-sayap cinta dan potretan dirinya yang terpajang rapi
diatas kanvas. Diantara lukisan itu, masih ada ruang kosong yang cukup
memanjang. Tidak terkena cat dan tercoret sekaligus.
“Gimana?
Suka sama lukisannya?”
Vio
tersontak, sedetik dengan cepat ia menoleh ke belakang. Ia menemukan satu sosok
pemuda bertubuh jangkung dengan kaca matanya. Dan disudut sana terdapat sepeda
onthel abu-abu tua yang tergeletak begitu saja.
Vio
sangat ingat, ia menemukan pemuda itu saat ia meninggalkan sketsanya dilabirin
tadi pagi. Dan yang baru saja Vio sadar, buku sketsanya mengarah ke halaman
sketsa yang baru saja gambar tadi. Gambar seorang pemuda berkaca mata dan
sepeda onthel abu-abu tua.
Gavriel
cukup melempar senyuman yang tetap membuat Vio membeku disana.
“Masih
ada ruang kosong dikanvas ini, dan yang aku mau, ada yang mengisinya disini. Dan
kalau boleh aku jujur, aku mau kamu yang mengisi satu lukisan diruang kosong
kanvas ini.” Kata Gavriel.
Vio
menoleh ke arah kanvas, ia berkutat fokus pada salah satu ruang kosong disana. Hanya
saja beberapa kali Vio memutar ingat otaknya, ia akan melukis apa disana?
“Satu
lagi, kamu pasti sudah membaca surat dalam botol itu. Dan kamu tahu, apa yang ada
dihati aku sebenarnya. Dan aku mau, kamu menjawabnya disini, diatas kanvas yang
masih tersisa ruang kosong.” Kata Gavriel lagi.
Langkahan
jemari Vio meraih satu kuas yang tergeletak didekat buku sketsanya. Ia mencelupkan
ujung kuas itu dibeberapa warna cat yang tersedia. Perlahan Vio melukis diruang
kosong dideretan kanvas. Tepat dibawah jepretan fotonya, tampak sangat jelas,
saat tulisan itu telah terlukis oleh jari-jari Vio.
'Love you Too'
‘Klik’
Satu
potretan begitu tersorot diantara keduanya, hampir saja Vio tersontak kaget
dengan arah lensa cahaya itu. Ia mendapati Vano yang saat ini jelas berdiri bersama
Aira disana. Mereka mengulas senyuman mendapati Vio yang baru saja sedikit
beradu pandang dengan Gavriel didepan kanvas.
~SELESAI~
Komentar
Posting Komentar