Langsung ke konten utama

Cerpen~ SEKOTAK KATA HATI DIATAS KANVAS


          “Viooo.. ih, dari tadi ngelukis mulu?” Oceh Aira yang sempat berada disamping Vio saat itu. Baru saja gadis berkuncir satu itu mendaratkan dirinya disebuah kursi yang memanjang yang berada didepan taman kompleks.

Vio masih berkutat dengan kanvas yang kini berada tepat dihadapannya. Seolah-olah ocehan Aira tak ia gubris, semakin cepat jemari itu mengarahkan satu kuas yang baru saja terisi warna biru pekat. Dan perlahan jemahan jari itu menari-nari diatas kanvas tanpa coretan.

Sesekali Vio mencoba berdehem, ketika Aira menyenggol pundaknya, yang sempat meneteskan beberapa cat dengan sembarang diatas kanvas. Lagi-lagi alis Vio terangkat dan menoleh pada Aira.

“Airaaa!! Bisa nggak, nggak usah bawel? Giliran aku ganggu kamu nulis saja, kamu malah marahin aku. Nah sekarang, giliran aku marahin kamu. Soalnya kamu udah ganggu aku ngelukis,” Sambar Vio, ia mengangkat kedua tangannya yang ia lipatkan didadanya.

“Yaa dari pada aku dicuekin mulu,” Gerutu Aira, sembari mendengus kesal. Sejenak ia memainkan kedua kakinya.

“Pas kamu nulis saja, aku dicuekin nggak masalah.” Balas Vio, dengan memeletkan lidahnya didepan Aira. Dan kembali memfokuskan lukisannya yang belum tuntas.

Namanya Vio. Ceria, humoris, kadang kala suka jail dan penyuka lukisan dan beberapa komik bergambar. Dari jemarinya mampu mewujudkan lukisan-lukisan yang tergores dengan lihai. Dalam benaknya sangat berpikir imajinatif dan menciptakan karya-karya gambar yang kreatif. Kanvas dan beberapa kuas, serta cat minyak adalah mainannya saat dihari-hari bosannya telah tiba.

Aira sangat mengenal Vio, gadis yang menurut Aira sangatlah unik. Penampilan yang sangat sederhana, dan mudah bergaul dengan siapa saja yang telah mengenalnya. Penyuka satu kartun yang tak bisa ia hentikan jika ia melukis, kartun minion. Ini cerita seorang gadis penyuka lukisan dengan senyum tawa dibalik seorang Vio.

Pohon-pohon yang menjulang tinggi hingga beberapa meter diperkarangan rumah yang cukup terlihat sederhana. Riuhan angin yang seakan meneriakkan tiupan diselah-selah ruang udara. Jemari itu masih saja tak terhenti bersajak penuh dengan keceriaan dibalik nada senyumannya. Sebuah lukisan tentang anak kecil yang sedang menggigit buah apel disamping pohon apel itu tumbuh. Perlahan-lahan imajinasi begitu ia tumpahkan diatas kertas berukuran lebar dan memanjang, dengan ditopangkan dua kayu kecil dibaliknya.

Beberapa kuas yang berjejer rapi disisi kanvas, telah menerpah penglihatannya dengan senyuman yang terulas pada gadis itu. Dan cat minyak dengan berbagai warna, cerah dan pastel sangat memanjakan kuas yang tergenggam dengan mencorat-coret lihat diatas kanvas.

Baru saja Aira sejenak pamit balik ke kos sekitar sejam yang lalu pada Vio yang sedang sibuk dengan lukisannya. Bahkan sejak Aira datang melihat gadis itu sibuk mencoret kanvas, dan Vio tak menggubris ocehan Aira yang kelewat bawel disampingnya. Dasar gadis itu sangat sibuk dan tak ingin diganggu jika menyempatkan waktu dengan hobinya.

Sesekali Vio menghirup udara segar dibalik sapaan pagi. Cuaca dihari itu sangat menginspirasi bagi Vio, jika sejenak ia sempatkan besenda gurau dengan kuas dan kanvas yang menghasilkan coretan lukisan yang menyejukkan mata. Semua membuat Vio damai dan merasa tenang jika lukisan selalu menemaninya.

Tap.. Tap.. Tap..

Derap langkah kaki itu terus menelusuri tapakan terjal diantara kerumunan daun-daun teh yang sempat bertebaran tanpa permisi. Tetap saja dengan tatapan tersorot seakan lurus ke depan mengikuti jalur yang ia jejaki. Lelaki pemuda dengan potongan rambut cepak dan jumper hitam pekat itu tak terhenti mengayuh sepeda abu-abu tuanya dengan hati-hati. Sembari melukiskan senyuman dengan menatap beberapa pekerja petani kebun teh disana. Sangat unik, dengan pakaian kebaya jaman lampau dan lumayan lusuh. Serta topi hampir berbentuk setengah kerucut berwarna kuninga kecokelatan melekat dikepala petani tersebut. Dan dengan lihainya jemari itu seakan penuh tenang mencabut beberapa teh yang terhampar dihadapan mereka. Lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang cukup besar, terbuat dari anyaman bambu dan digendong dibalik tubuhnya.

Pemuda itu menghentikan kayuhan sepeda onthel abu-abu tua miliknya. Dan seolah mulai melangkah dengan kaki-kakinya, menyusuri tapakan terjal disana. Masih dengan menuntun sepeda itu hingga mengikuti arahnya berjalan. Tatapannya baru saja menangkap seorang gadis dibalik pagar besi menjulang tinggi disana. Dengan kanvas dan beberapa kuas serta cat minyak tergeletak tepat sangat dekat pada gadis itu. Sembari ia membenarkan posisi bingkai kaca matanya dengan benar. Dan mencoba menghela nafas sembari bersenda ria dengan objek penglihatannya saat ini.

Ia kembali mengulas senyuman yang cukup penuh nikmat menatap dengan fokus pada gadis itu. Begitu jemari-jemari seakan bebasnya menari-nari dibalik kanvas, sangat menyejukkan tatapan jika ia benar-benar melihat apa yang gadis itu lukis. Namun bukan itu yang dimaksud oleh pemuda itu. Ia menyadari akan mengagumi gadis dengan potongan rambut sebahu dan lumayan curly disana.

“Gav,”

Panggil suara dari arah belakang pemuda yang masih saja menggenggam sepeda onthelnya. Dengan cepat ia menoleh ke arah tepat suara yang baru saja menyapanya.

Tampak sekali sosok laki-laki sebaya dengannya begitu mendekat ke arah Gavriel yang masih bertopang dengan sepeda.

“Kamu kok disini?” Tanya Gavriel, sembari menautkan kedua alisnya.

“Eh, jangan kira aku tuh nggak tahu, kamu lagi ngapain disini.” Ujar pemuda berkaos putih tepat disamping Gavriel.

Pemuda itu baru saja mendaratkan sepeda yang sama dengan Gavriel disana, tepat didepan gerbang besi dihadapan mereka. Lagi-lagi Gavriel menghela nafasnya, ia mengkerutkan kening seakan menghadap ke arah bawah. Genggamannya masih bertopang diantara gagang sepeda.

“Van, coba saja jariku bisa mengatur jarum jam. Dari awal, aku nggak akan pernah terjebak dalam situasi ini. Sampai aku nggak tahu, mana bedanya cinta dan rasa suka,” Ucap Gavriel.

Sembari Vano menghela nafas, ikut menatap satu gadis dibalik kanvas dengan berjara cukup jauh dari mereka. Mengikuti arah Gavriel menatapi objek tersebut disana. Vano menautkan kedua alisnya dan berbalik menatap manik-manik kristal diantara kedua mata Gavriel sahabatnya.

“Kalau boleh jujur, bukankah kita merasakan hal yang sama? Merasakan perbedaan dari kedua rasa yang sama sekali sulit terungkap. Ikuti sajalah alurnya, toh semua akan indah pada waktunya.” Balas Vano dengan senyuman getir.

“Aku tahu kita sama, sama-sama tak bisa memilih akan kemana jejakan hati itu mendarat.” Kata Gavriel.

“Sudahlah, hayoo kita jalan-jalan lagi, keliling kebun teh kan asyik tuh.” Seru Vano, dengan cepat ia mengayuh sepedanya lagi. Menyusuri tapakan tanah dengan pandangan lurus mengikuti alur ke depan.

Begitu pun setelah Gavriel melontarkan kembali senyumannya pada gadis dibalik gerbang sana. Arah Gavriel mengikuti Vano dari belakang, sama menelusuri kebun kembali dengan kayuhan sepeda onthel mereka.

Brukk

Hingga beberapa kuas tak sengaja tersenggol mengenai cat minyak yang tergeletak diatas meja. Mata Vio tertuju pada tumpahan cat minyak yang sempat berceceran membentuk hiliran sungai diatas rumput dekat arahnya. Hampir saja Vio menatap sekilas dibalik gerbang besi perkarangan rumahnya.

Ia kurang begitu menyadari  sedari tadi akan tatapan seseorang dibalik gerbang. Seolah yang Vio lihat hanyalah kayuhan sepeda dari dua pemuda sebaya yang menyusuri jalanan rumahnya. Sembari Vio mengerutkan keningnya, dan menyibukkan dirinya kembali membereskan cat-cat minyak yang bececeran disana.

Kira-kira siapa ya dia?’ Batin Vio.

Masih saja ingatan Vio tertuju pada sepeda abu-abu tua disudut depan gerbang tadi. Meski ia hanya melihat sekilas siapa gerangan yang mulai mengincar dirinya dibalik pagar besi disana. Vio memang tak bisa melihat jelas siapa dia, ia tetap saja fokus pada lukisan yang baru saja ia garap sedari tadi. Setahu Vio, ia hanya butuh tak melupakan tatapan seorang pemuda dengan sepedanya dibalik pagar besi diperkarangan rumah yang ia pijaki saat ini.
***

Sepeda abu-abu tua itu begitu mendarat ketika sampai dsebuah rumah bercat biru tua disana. Sembari Gavriel membenarkan bingkai kaca matanya, dan meletakkan sepeda onthelnya begitu saja tepat disamping pohon yang cukup besar, sangat berjarak dekat dengan rumah bercat biru tua disana.

Langkah kakinya perlahan memasuki pintu rumah, “Assalamualaikum,” Sapa Gavriel dengan salamnya saat menerobos pintu rumah.

Sesekali jemarinya menyerobot secangkir mocca yang berada diatas meja ruang tamu. Seteguk hingga dua tegukan hingga membasahi ruang kerongkongan, ia menghela nafas dan meletakkan kembali mocca yang baru saja ia minum.

Dan kembali fokus dengan langkahannya hingga memasuki setiap ruangan berbeda. Sejenak mencari-cari penghuni rumah disana, matanya tak segan-segan menelusuri setiap ruangan. Tapi alhasil nol juga, mungkin penghuni seisi rumah sedang menjalankan aktivitas kerja mereka diluar. Lagi-lagi Gavriel merasa sendiri, saat ia ingin merasakan ada orang yang mempedulikan ia sebagai anak tunggal satu-satunya dikeluarga tuan Tora. Nama ayah dari Gavriel sendiri, ia tetap bersama kedua orang tua dirumah itu dan satu orang asisten rumah tangga yang kesehariannya menyiapkan keperluan pemilik rumah.

Sembari pemuda berkaca mata itu mendaratkan dirinya disalah satu sofa ruang keluarga. Dan menyalakan televisi yang berjarak dekat dengan sofa yang ia duduki.

“Eh, aden Gavriel sudah datang? Memangnya nggak ada jadwal kuliah ya, Den?” Tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja menghampiri Gavriel.

Saat ia mendengar suara televisi yang menyala diruang tengah. Ia memang sejak lama tinggal dirumah itu bersama keluarga keci tuan Tora. Serta mengurusi semua keperluan rumah dan sekaligus mengurus Gavriel dirumah. Bibi tahu betul, tuan Tora sangat sibuk akhir-akhir ini, apalagi Nyonya Tora sebagai ibu Gavriel. Kedua pasangan itu sama-sama merintis dunia karirnya dengan bisnis.

“Gavriel libur, Bi.” Ucap Gavriel lengah.

“Ya sudah, aden mau minum apa? Biar bibi buatin,” Kata Bibi lagi.

“Es lemon tea aja, Bi.” Balas Gavriel singkat.

Dengan langkah cepat Bibi meninggalkan pemuda itu diruang tengah, dan mulai membuatkan pesanan pemuda berkaca mata itu didapur.

Perlahan jemari Gavriel meraih sebuah majalah yang berada diatas meja depan sofa yang ia duduki. Dengan cepat ia membuka lembar per lembar yang tertumpuk disana. Sejenak mengamati isi per isi dari bagian bab yang ia buka.

Tiba-tiba jemari itu terhenti, saat telunjuk Gavriel mengarahkan ke salah satu topik berita yang lumayan fresh dibaca. Salah satu berita yang membahas tentang launching taman raya baru dikotanya. Taman Raya Tracks Played, adalah satu-satunya taman yang berbentuk semirip rupa dengan dufan yang baru saja selesai dibangun minggu kemarin. Dengan objek yang dibuat sedemikian rupa dan beberapa taman bunga serta wahana-wahana yang sangat menarik. Gavriel hanya tersenyum sekilas, dan menutup majalah itu kembali. Melemparkannya ke sembarangan tempat diatas meja.

Teng.. Tong..

Begitu suara bel berbunyi hingga dua kali deringan dari luar pintu rumah. Dengan segera bibi menuju ke arah pintu, dan membukanya sejenak. Dihadapan bibi saat ini terlihatlah seorang pemuda dengan potongan rambut yang cukup dibuat asal-asalan. Dan kaos putih serta dilapisi hem biru denim polos, pemuda yang seumuran dengan Gavriel. Dan siapa lagi, kalau bukan Vano yang datang mengunjungi rumah Gavriel disiang itu.

“Gavrielnya ada, Bi?” Tanya Vano dengan mengulas senyuman.

“Oh, aden Gavriel ada. Sebentar, bibi panggilin dulu ya,” Ujar wanita paruh baya itu dan membalikkan arahnya hingga memasuki ke ruang tengah.

Disana masih terlihat Gavriel yang sedang santainya menikmati es lemon tea dan tontonan televisi diruang tengah.

“Aden Gavriel, ada yang cari didepan.” Kata Bibi, yang sempat membuat Gavriel menoleh ke arahnya.

“Siapa, Bi?” Tanya Gavriel.

“Seperti biasa, den Vano yang datang.” Kata Bibi lagi.

Gavriel hanya mengangguk paham, sementara bibi kembali membalikkan arahnya ke dapur rumah. Dengan cepat Gavriel beranjak dari sofa dan segera menghampiri Vano yang menunggu dirinya diruang tamu.
***
Jam menunjukkan pukul 10.00, suasana yang setengah siang dan setengah pagi. Langkahan itu sama sekali enggan terhenti menyusuri tapakan aspal yang cukup luas. Hari itu Vio bersama Aira sedang mengunjungi salah satu taman raya yang baru saja dibuka seminggu yang lalu. Taman Raya Tracks Played.

Tampak disekeliling mereka terdapat beberapa wahana bermain yang cukup menarik bila dinikmati. Dan beberapa taman bunga serta wahana taman labirin terjejer disana. Senyum dan canda tawa begitu menghiasi diantara mereka berdua. Sejenak memotret dan berfoto ria disekitaran taman. Apalagi saat mereka menikmati beberapa wahana yang cukup menarik perhatian untuk dikunjungi. Komedi putar, Perahu ayun, Kicir-kicir, dan beberapa tempat permainan air yang cukup menantang dan menarik.

Sementara disisi lain, Gavriel yang masih sedari tadi tak membuka omongannya disamping Vano. Mereka masih berjalan dan menatap sekeliling yang cukup asyik dipandang oleh kedua mata mereka. Masih ditempat yang sama, disalah satu taman raya tracks played. Pemuda berkaca mata itu sejenak menyelipkan kedua telapak tangannya diantara saku-saku celana jeans yang ia kenakan. Sedang lelaki yang bersamanya masih merasa nyaman berkutat dengan pandangannya disekitaran taman baru disana.

“Gav, kamu nggak mau coba main wahana disini? Seru-seru loh, sekali coba pasti ketagihan deh,” Seru Vano.

Gavriel hanya mengangkat sebelah alisnya penuh pemahaman yang cukup dihadapan pemuda bertubuh jangkung itu. Dan sembari mengangkat kedua bahunya, menandakan bahwa pemuda berkaca mata itu enggan tertarik menerima tawaran sahabatnya.

“Kalau gitu aku saja yang coba, kamu nggak apa-apa kan, kalau aku tinggal bentar?” Gumam Vano.

“Aku sudah terbiasa sendiri,” Balas Gavriel.

Dengan senyuman getir, Vano melangkah cepat meninggalkan Gavriel berdiri ditengah-tengah keramaian pengunjung disana. Namun Gavriel masih saja tak mempedulikan itu semua. Ia tetap saja menelusuri jalanan setapak diatas hamparan aspal yang tak terjal lagi, tak sama yang biasa ia nikmati pemandangan diperkebunan teh dekat rumahnya.

Aira masih saja asyik memilih gulali manis yang ia suka, biasanya gadis itu penyuka warna pink. Alhasil yang lihat pertama kali, ialah gulali berwarna pink yang tergantung disana. Bukan karena ia merasa lapar, hanya saja Airatak tahu mengapa dirinya begitu melangkah ke arah penjual gulali manis dipinggiran taman. Dia tetap ditemani oleh Vio disana. Namun satu kebiasaan Vio, setiap kali Aira mengajaknya jalan-jalan. Vio masih saja tak lepas dari buku sketsa dan satu buah pena serta cat air yang ia bawa kemana-mana.

Lalu dari arah yang cukup tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu dekat dipandang. Vio mengamati sebuah taman yang didalamnya terbentuk bagai labirin-labirin yang cukup menarik baginya. Ia menoleh sekilas pada Aira, gadis itu masih saja belum selesai memilih-milih gulali manis. Cukup menghela nafas, akhirnya Vio memilih meninggalkan Aira disana. Langkahannya malah tertuju pada taman labirin tepat disudut sana, baru saja Vio mengamati taman itu.

Perlahan langkahan Vio memasuki taman labirin disana, masih dengan buku sketsa dan peralatan menggambar yang ia genggam. Dan begitu menelusuri tapakan-tapakan jalanan disetiap jalur. Sangat menyejukkan pandangan bila diamati, pantas saja taman ini cukup ramai pengunjung. Apalagi beberapa diantaranya memasuki taman labirin yang sedang Vio pijaki. Beberapa batang dahan penuh dengan daun-daun terjejer rapi disetiap sudut, menjulang tinggi melebihi tubuh Vio saat itu. Dan beberapa ruangan banyak sekali pintasan-pintasan yang cukup membingungkan perjalanan. Namun Vio masih tak menghentikan langkahannya, benaknya berharap menemukan sebuah tempat untuk bersantai ria disana, dan sejenak memberikan waktunya untuk menggambar sketsa disana. Vio tak sabar menggambar lagi, meski ia tak bersama satu kanvas saat ini.

Dear kertas putih tanpa coretan, bolehkah aku melukiskan sketsa ku kembali disana? Aku ingin menggoyangkan pena yang ku genggam saat ini diatas kertas putih bersih disana. Disinilah aku melangkah, disinilah aku berpijak. Mungkin disinilah aku menemukan entah siapa yang akan ku ketahui, satu senyuman yang terulas dibalik sana. Mengamatiku dan melukiskan sketsa senyuman utuh yang terpampang dideretan bibirnya.’ Batin Vio.

Jemarinya mulai menari-nari bebas seolah seperti anak kecil yang mencoret-coret sebuah gambar diatas kertas. Vio suka akan kebiasaannya itu, kebiasaan yang tak pernah ada kata bosan bila ia merasa jenuh disetiap waktu berjalan.

Vio seolah-olah begitu mengingat pemuda yang biasa menatapnya ketika ia bermain bersama lukisan-lukisannya. Pemuda itu memakai kaca mata dan biasanya selalu mengendarai sepeda abu-abu tua dan berhenti didepan gerbang perkarangan rumah Vio. Meski Vio belum melihat jelas wajahnya, namun Vio merasakan senyuman serta pancaran bingkai sinar dibalik bola-bola kristal, menatapnya seakan begitu fokus terhadapnya.

Tap.. Tap.. Tap..

Jejak langkah itu seakan terhenti, ketika kedua binar matanya begitu tersorot tertuju pada objek yang baru saja ia amati. Seorang gadis berpotongan rambut sebahu dengan topi merah yang gadis kenakan. Masih bertopangkan dengan buku sketsanya dan sembari duduk diantara labirin-labirin disana. Gadis itu begitu tak mengubris keadaan orang-orang yang berlalu lalang sekilas lewat didepannya. Gavriel sangat hafal kebiasaan gadis itu, bila buku sketsa maupun kanvas dan beberapa kuas serta pena dan cat minyak serta cat air menemaninya. Ia tak kan sama sekali mengubris yang lain, ia hanya memfokuskan gambar dan lukisan yang ia buat. Entah mengapa senyuman Gavriel kembali terlontar pada gadis yang masih duduk yang cukup dekat dilihat.

“Na.. na.. na.. na..” Begitu lantunan nada yang Vio nyanyikan, sejenak menyemangati dirinya dengan beberapa garis sketsa yang ia buat diatas kertas.

Gavriel masih saja tak terhenti menatap Vio dari arah yang cukup dekat. Dibalik pintasan labirin yang akan berbelok ke arah Vio stand by. Gavriel masih saja tak melanjutkan langkahnya, entah apa ia enggan melewati satu objek yang beberapa kali menjadi sasaran penglihatannya. Gadis penyuka lukisan dan lumayan berani bergaya bebas dengan dirinya sendiri.

Sementara objek yang dilihat Gavriel, masih sibuk dan terlalu asyik memfokuskan sketsa gambarnya disana. Dan sejenak melapisi sketsanya dengan beberapa cat air yang tergeletak diatas aspal disisinya.

Brukk

Tangan Vio tersentak saat mendapati beberapa cat air yang tak sengaja ia senggol kembali. Beberapa warna dan air yang terjejer rapi tumpah menyeruakkan warna-warna yang cair disisi Vio. Dengan spontan Gavriel mendekat ke arah Vio yang tampak sibuk membereskan cat-cat air yang berceceran. Jemari itu tak sengaja tersentuh, dengan sigap Vio menoleh ke hadapannya. Dengan spontan kedua alis itu bertautan, seakan tak mengira ia benar-benar menemukan seorang yang baru saja menjadi objek sketsanya.

Lelaki itu, bukannya..’ Batin Vio, ingatannya tertuju pada sosok pemuda yang sekilas ia lihat dibalik gerbang perkarangan rumahnya. Disetiap kali Vio bermain bersama kanvas-kuas- dan cat minyak.

Dengan cepat Vio membalikkan tolehannya ke arah lain, ia segera menutup gambar sketsa yang baru saja ia buat dengan jemahan penanya. Bagaimana pun lelaki itu tak boleh tahu, apa yang baru saja ia gambar didalam buku sketsanya. Vio masih saja bungkam, Gavriel masih saja sibuk membereskan cat-cat air yang berceceran disana.

Deg

Entah apa yang Vio rasakan, sepertinya cuilan itu begitu mengendap-ngendap diantara ruang kosong didalam hatinya. Tatapan yang penuh makna, Vio menyadari pemuda itu sempat membuatnya merasakan melayang hingga menerobos awan-awan yang bergelantungan. Dengan tatapan yang cukup teduh dan tenang jika pemuda itu mengamati Vio penuh dengan seksama.

“Makasih,” Ucap Vio singkat, ia kembali beranjak dihadapan pemuda berkaca mata itu. Dan sejenak membalikkan arahnya membelakangi pemuda itu.

Dengan langkah cepat, Vio terburu-buru melangkah dari hadapan Gavriel. Ia tak tahu mengapa dirinya begitu cepat salah tingkah berhadapan dengan satu pemuda berkaca mata itu. Gavriel yang masih terpaku mengamati Vio dari arah belakang punggungnya. Kini yang hanya tergenggam dijemarinya, hanya buku sketsa dan beberapa cat air serta pena cokelat disisi sepatu Gavriel.

Ia perlahan meraih buku sketsa milik gadis bertopi merah yang baru saja tiba-tiba menghindarinya. Beberapa gambar sketsa terlihat jelas dan sangat unik diamati. Hingga dilembaran terkahir, gambar itu ialah seorang pemuda berjaket hitam- berkaca mata- dan bertopang pada sepeda onthel abu-abu pekat. Semua sketsa jelas sebagian terlukis, seulas senyuman Gavriel penuh arti menatap gambar dirinya dibalik sketsa yang baru saja Vio buat.
***
Masih dalam suasana taman raya, Vio masih saja enggan menghentikan langkahannya. Ia ingat benar, ia meninggalkan Aira dijajanan gulali manis dipinggir taman raya. Namun objek yang dicarinya malah menghilang, dan kemungkinan besar Aira juga mencari Vio ditaman itu. Belum sempat Vio melangkah, kakinya hampir saja menendang sebuah botol.

Lagi-lagi Vio mengkerutkan kening, ia begitu seksama mengamati botol yang berada dihadapan kakinya saat itu. Sebuah botol yang berukuran cukup memanjang dan diujungnya terdapat sebuah spons kuning tuk menutup mulut botol. Tampak jelas didalamnya terdapat gulungan kertas yang cukup memenuhi ruang botol itu. Dengan sigap Vio mengambil botol itu, hingga beralih ke genggamannya dengan cepat. Masih saja Vio mengamati gulungan kertas didalam botol itu.

Sembari Vio mencoba mengarahkan penglihatannya ke arah kanan dan ke kiri. Hingga ke sekeliling halaman taman, masih banyak kerumunan lalu lalang orang-orang sekitar seperti mengeliling dirinya. Vio mengangkat bahunya, ia kembali menelusuri tapakan jalanan disana. Seakan ia memilih jalan lurus ke depan, berharap ia akan menemukan Aira saat itu juga.

Langkah Gavriel seolah terhenti tepat dihadapan beberapa wahana taman raya. Ia tetap mengamati satu persatu orang-orang sekitar, yang berlalu lalang dihadapannya. Genggamannya masih berkutat dengan buku sketsa dan pena serta cat air. Gavriel menghela nafas, objek yang ia cari masih saja tak ia temukan.

Sementara itu pemuda berkaca mata itu mengulas senyumannya lagi. Bukan hanya pada peralatan menggambar yang tergenggam. Namun prasaan legah, benaknya berkata, ia harus menyatakan semua yang ia sembunyikan selama ini pada objek yang selalu ia amati. Gavriel kembali melangkah, mengikuti jalanan setapak disana.

Vio mendaratkan dirinya disebuah bangku putih yang begitu memanjang disekitaran taman bunga. Sudah berapa kali ia menyusuri jalanan taman raya, berkeliling ke satu tempat hingga ke tempat lainnya. Masih saja Vio tak menemukan Aira disana, kemana dia? Apa ia sudah tak berada ditaman ini? Entahlah Vio hanya bisa menebak-nebak apa yang ada dibenaknya.

Botol yang sedari tadi genggam, Vio sempat mengamatinya kembali. Seakan menerawang apa gerangan isi surat didalam botol itu. Tumben saja ada orang yang menulis lembaran yang diletakkan ke dalam botol. Memang tampak unik, entah kenapa hati Vio semakin saja menggebu. Ada secuil yang datang dan memasuki relungan hatinya, begitu membrikan isyarat pasti.

Agar ia segera membaca isi surat yang tergeletak didalam botol secepatnya. Dengan cepat Vio mengeluarkan gulungan kertas didalam botol, sembari perlahan membukanya penuh dengan rasa tenang.

Deretan satu kata hingga beberapa kata terbungkus rapi membentuk beberapa kalimat. Entah apa yang membuat hati Vio seakan tersentuh, mengamati disetiap baris kalimat diantara jejakan yang tertulis disana.

Dear gadis penyuka lukisan,
Diantara kalimat yang terbungkus deretan kata cinta, 
entah apa rasanya disetiap goresan pena yang begitu melukiskan sebuah tulisan dilembaran kosong tanpa sketsa. 
Hingga jemahan jemari itu begitu menari-nari seakan bebas mencoret sketsa diatas lembaran kosong disana. 
Entah apa yang membuat diri ini tak bisa berkata akan adanya prasaan yang berbeda. 
Ketika jejakan mata ini menatapi objek yang sedang melukis dibalik kanvas yang masih utuh. 
Kalau saja bibir ini bisa mengungkapkan suatu rasa, 
harapanku rasa ini akan sama dengan coretan sketsa yang sejenak terlukis diatas kanvas. 
I Love you, 
not since your pen strokes depict a smile behind the eye glass frame. 
I love you , 
since two light my eye caught an angel reconcile my heart just like this .
 
From pemuda dibalik gerbang perkarangan,

Vio menutup kembali lembaran surat botol itu, dan meletakkannya ke dalam botol sama seperti pertama kali ia temukan. Entah apa yang kembali mengendap-ngendap memenuhi ruang hati Vio saat itu. Ia menginginkan satu ulasan senyuman penuh makna yang ia lukiskan sendiri dideretan bibir mungilnya.

Sembari Vio menoleh ke arah samping kanannya, tepat disebuah wahana komedi putar. Satu gadis sebaya yang baru saja ia lihat sedang berdiri sendiri disana. Sembari celingak-celinguk ingin mencari-cari sesuatu. Tampak banyak kata, Vio menarik langkahnya menuju wahana komedi putar, tepat didepannya.

“Aira..” Sapa Vio, sembari menepuk pundak Aira. Membuat gadis itu menoleh seketika ke arahnya.

“Vio, kamu itu kemana saja sih? Aku dari tadi cari kamu, sampai aku bosan tahu. Ya sudah, aku main-main saja dikomedi putar ini.” Sambar Aira sembari menghela sejenak.

Vio hanya tersenyum saat itu, dan penglihatannya begitu terarah ke sebelah kanannya. Disana berdirilah sosok pemuda berkaca mata, yang baru saja Vio temui dilabirin tadi. Hanya saja Vio cepat menghindari pemuda berkaca mata itu. Pemuda itu sembari menuntun sepeda onthel abu-abu tuanya tepat didepan penglihatan Vio. Gavriel sempat melempar senyuman ke arahnya.

Seulas senyuman yang seakan terlukis diantara keduanya, apalagi saat pemuda itu begitu jelas menyatakan isi hatinya lewat tulisan lembaran kertas dalam botol. Perkata yang membungkus membentuk sebuah kalimat, Vio menyadari akan hatinya menyukai pemuda itu.

“Vio.. Kamu lagi liatin apaan sih?” Gertak Aira, saat mendapati sikap Vio yang seakan membeku dengan mengulas senyuman.

“Eh, nggak apa-apa kok, aku mau nunjukin sesuatu sama kamu, Raa.. pokoknya tempatnya itu bagus banget, ikut yuk?” Gumam Vio, yang seakan setengah sadar dari lamunannya.

Dengan sigap Vio menarik lengan Aira, yang jelas-jelas gadis disampingnya itu masih dengan asyiknya mengunyah gulali manis disana.

Tutt.. Tutt..

Suara ponsel Aira bergetar tepat diselah saku rok panjang yang ia kenakan. Aira merogoh ponselnya dengan cepat, dan sembari mengangkat telfonnya.

“Hallo? Oh, oke-oke,” Selesai Aira berkutat bergumam dengan telfonnya. Ia meletakkan kembali ponselnya diselah sakunya. Dan sembari menoleh ke arah Vio dengan mengkerutkan keningnya.

“Vioo.. sorry ya, aku balik dulu nggak apa-apa kan? Soalnya aku lupa, kalau sekarang mau balikin buku-buku yang aku pinjam ke perpus kemarin.” Gerutu Aira.

“Kan balikin bukunya bisa nanti saja?” Balas Vio,

“Iya nggak bisalah, soalnya Sheryn sudah nungguin dari tadi. Ehmm.. liat tempatnya kapan-kapan saja deh, janji deh. Kalau gitu aku duluan ya, byee Vioo..” Gumam Aira, sembari ia melambaikan jemarinya pada Vio, dengan senyuman yang cukup lebar. Langkahnya dengan cepat meninggalkan Vio yang masih tengah berdiri didepan komedi putar.

Vio mengarahkan tatapannya ke arah semula, dan yang jadi objek sasaran tatapannya malah menghilang dengan cepat. Vio menghela nafas perlahan, lalu ia melanjutkan langkahannya lagi.

***

“Van, tapi aku nggak yakin deh, cara ini bakalan berhasil.” Ucap Gavriel.

Vano yang masih sibuk dengan beberapa kanvas yang ia letakkan tepat dihadapan Gavriel saat itu juga. Sembari ia meletakkan beberapa cat minyak- dan beberapa kuas yang berbeda disamping beberapa kanvas. Buku sketsa dan cat air yang Gavriel genggam sedari tadi, berada tepat disamping bangku yang mereka duduki. Vano hanya menautkan kedua alisnya, dan menghela nafasnya perlahan. Ia menelan ludah sejenak, dan menepuk pundak Gavriel yang masih menatap kanvas-kanvas yang saat ini berada didepannya.

“Gav, percaya deh sama aku. Aku yakin kamu pasti bisa, aku tahu kamu juga sering ngelukis dibuku gambar. Dan yang aku lihat, lukisan-lukisan kamu cukup bagus. Ini demi prasaan kamu. Aku juga nggak maulah, ngelihat sahabat aku, masih saja takut untuk mengungkapkan sesuatu. Makanya aku pilih cara ini, secara gadis yang kamu suka, dia sangat menyukai lukisan. Jadi nggak ada salahnya, jika bibir sulit berkata, tuangkan kata-kata yang ingin kamu ungkap diatas kanvas. Biarkan kanvas yang berbicara,” Kata Vano, jemarinya sembari mengetuk kanvas yang masih putih dan kosong disana.

Gavriel menghela nafasnya sejenak, tatapannya masih saja fokus pada kanvas yang didepannya. Sembari jemarinya telah menggenggam satu kuas dan dilapisi warna cat disana. Kedua kelopak mata Gavriel terpejam, ia mencoba meyakinkan dirinya jika ia pasti bisa. Hembusan nafasnya, menjadikan ia mulai melukis disana. Jejakan jemari itu ia biarkan menari-nari bebas diatas kanvas-kanvas yang mulai coret disana.

Sedang Vano megulas senyumannya menatap Gavriel dan kanvas yang Gavriel lukisa disana. Masih setengah lukisan yang jadi saat itu, pemuda itu seakan menuangkan isi hatinya diatas kanvas sana. Dengan telaten, Gavriel tetap berkutat dan fokus diatas kanvas sana.

Hingga beberapa jam berlalu, hari berganti sore. Masih dengan suasana taman, entah apa yang menarik langkahan Vio untuk kembali masuk ke arah taman labirin disudut itu. Sejenak gadis itu menoleh ke arah sekitar, suasana taman itu masih saja cukup ramai pengunjung. Entah kenapa hati Vio menganjal, tumben saja ia melihat ke taman labirin yang akan ia masuki. Tertulis diatas pintu masuk labirin, ‘Welcome To Love Jungle- Dear Violet Pascal’.

Taman labirin itu sangat tidak seperti biasanya, sangat sepi pengunjung yang memasuki taman labirin disana. Vio mulai bertanya-tanya heran didalam hatinya, langkahannya memilih memasuki taman labirin disana.

Tumben? Disini ada pajangan tulisan seperti ini? Dan dibawahnya ada nama ku?’ Batin Vio.

Tap!

Tap!

Tap!

Langkah Vio berhasil menembus taman labirin, disana seakan-akan ia mulai bertanya-tanya heran dibenaknya. Beberapa lukisan yang terpajang rapi seakan menderet dari pintu masuk taman. Hingga menderet menjajar memanjang ke arah disetiap lengkungan arahan labirin. Vio tetap saja menatap satu persatu lukisan disana, disetiap lukisan terpajang foto dirinya dan tercantum namanya disana. Vio tetap saja enggan menghentikan langkahnnya, ia hanya bertanya heran, semuanya disana sungguh diluar dugaannya.

Hingga beralih ditengah-tengah labirin, langkah Vio terhenti disana. Ia menemukan satu kanvas yang cukup lebar dan berukuran melebihi kanvas yang biasa ia lukis. Diatas kanvas itu terdapat kain penutup yang lebar seakan menutup separuh dari lukisan. Disamping kanvas terdapat beberapa kuas dengan tatanan yang rapi, dan warna-warna cat minyak serta buku sketsa dan cat air diatas meja. Vio sangat ingat, ia sampai lupa dengan buku sketsa dan cat air yang sedari tadi ia bawa. Terakhir kali buku dan cat air itu ia tinggalkan begitu saja, saat mendapati pemuda yang berdiri didepannya begitu mendekatinya disana.

Dan saat ini, ia menemukan buku sketsa dan cat airnya tergeletak disana. Bersamaan dengan kanvas dan kuas serta cat minyak dengan bermacam-macam warna.

Diatas kanvas itu masih tertulis ‘Open’, perlahan Vio membuka kain penutup lukisan diatas kanvas itu. Dengan cepat jemahan jarinya terhenti, masih menggenggam kain penutup. Ia mendapati lukisan yang berbentuk sayap-sayap cinta dan potretan dirinya yang terpajang rapi diatas kanvas. Diantara lukisan itu, masih ada ruang kosong yang cukup memanjang. Tidak terkena cat dan tercoret sekaligus.

“Gimana? Suka sama lukisannya?”

Vio tersontak, sedetik dengan cepat ia menoleh ke belakang. Ia menemukan satu sosok pemuda bertubuh jangkung dengan kaca matanya. Dan disudut sana terdapat sepeda onthel abu-abu tua yang tergeletak begitu saja.

Vio sangat ingat, ia menemukan pemuda itu saat ia meninggalkan sketsanya dilabirin tadi pagi. Dan yang baru saja Vio sadar, buku sketsanya mengarah ke halaman sketsa yang baru saja gambar tadi. Gambar seorang pemuda berkaca mata dan sepeda onthel abu-abu tua.

Gavriel cukup melempar senyuman yang tetap membuat Vio membeku disana.

“Masih ada ruang kosong dikanvas ini, dan yang aku mau, ada yang mengisinya disini. Dan kalau boleh aku jujur, aku mau kamu yang mengisi satu lukisan diruang kosong kanvas ini.” Kata Gavriel.

Vio menoleh ke arah kanvas, ia berkutat fokus pada salah satu ruang kosong disana. Hanya saja beberapa kali Vio memutar ingat otaknya, ia akan melukis apa disana?

“Satu lagi, kamu pasti sudah membaca surat dalam botol itu. Dan kamu tahu, apa yang ada dihati aku sebenarnya. Dan aku mau, kamu menjawabnya disini, diatas kanvas yang masih tersisa ruang kosong.” Kata Gavriel lagi.

Langkahan jemari Vio meraih satu kuas yang tergeletak didekat buku sketsanya. Ia mencelupkan ujung kuas itu dibeberapa warna cat yang tersedia. Perlahan Vio melukis diruang kosong dideretan kanvas. Tepat dibawah jepretan fotonya, tampak sangat jelas, saat tulisan itu telah terlukis oleh jari-jari Vio.

'Love you Too'

‘      ’
Klik


Satu potretan begitu tersorot diantara keduanya, hampir saja Vio tersontak kaget dengan arah lensa cahaya itu. Ia mendapati Vano yang saat ini jelas berdiri bersama Aira disana. Mereka mengulas senyuman mendapati Vio yang baru saja sedikit beradu pandang dengan Gavriel didepan kanvas.

~SELESAI~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Ten Best Collection Books I Love

Assalamualaikum sahabat pembaca :) Setelah sekian lama aku mengabaikan blog pribadiku ini, dan akhirnya aku bisa mengisi tulisanku disini, hehe :D Maafkan, kelamaan nggak punya ide apa-apa ngisi tulisan disini, setelah aku sering banget main-main di wattpad.. :D Ok, kali ini aku akan membahas sesuai judul yang kutulis. Yaitu 10 buku koleksiku yang paling aku suka. Sebenarnya koleksi buku aku banyak banget. Kamar aja udah hampir dibuat kayak taman bacaan gitu, hehe. Tapi dari banyak koleksi buku aku yang paling sering aku baca dan yang aku suka, aku memilih 10 buku aja. Well, membaca sebuah buku bagi kita itu sangat nggak asing. Dan banyak masyarakat yang menyukai membaca buku. Teruntuk aku sendiri, bagi aku buku itu ialah jendela semua ilmu pengetahuan. Ya meskipun dari banyaknya koleksi buku aku, memang kebanyakan novel atau buku antologi. Dan ada juga beberapa buku-buku non fiksi yang bisa digunakan untuk belajar. Tapi disemua kategori buku itu bukan berarti kita nggak bisa dap...

Secarik Kertas Dan Sebatang Pena

Jika kalian mendengar dua kata benda di judul atas, sepertinya biasa saja. Bagiku dua benda tersebut sangat luar biasa. Mengapa kubilang begitu? Tanpa kertas,  aku tak akan mengenal tulisan pena. Tanpa pena, aku tak akan mengenal secarik kertas yang biasa kutulis hampir setiap waktu senggangku. Bagiku--kedua benda di atas telah menjadi sahabat tulisanku selama hampir dua tahunan yang lalu. Mereka yang sampai saat ini selalu kukenang dalam dunia literasiku. Secarik kertas dan sebatang pena yang kukenal lama semenjak aku masih berada di bangku sekolah menengah atas. Waktu itu aku sedang menjabat sebagai anggota jurnalistik redaksi sekolahku. Tepatnya di sebuah Madrasah di kota santri Situbondo. Aku sedang bersekolah di MAN 2 Situbondo, dari sana aku mulai mengenal apa itu dunia literasi. Pertama kali lewat secarik kertas dan sebatang pena yang sering menemani waktu senggangku menulis di pojok kelas. Waktu istirahat tiba aku selalu saja mengeluarkan sebuah buku yang berisi lemb...

Cerpen- DI AKHIR SENJA BIRU

Senandung biru bertebaran menggelayuti awan putih nan salju. Semilir angin begitu menghembuskan udara segar dibalik kicauan burung dipagi hari. Pancaran cahaya terlihat jelas saat bergelantung menembus arah jendela kaca, disebuah kamar seorang gadis remaja. Derap langkah perlahan gadis itu mendekat ke sudut kaca, sembari ia meraih sebuah kamera dilentikan jemari yang telah tergenggam. Nampak jelas beberapa potretan dibalik kamera, terpajang rapi ketika gadis itu tersenyum menatap foto-foto dirinya. ‘ Krakk.. ’ Suara pintu terbuka ketika seorang gadis setengah baya tiba memasuki kamar. “Kak Nadya, ada yang cari kakak..” Ucap gadis manis berkaca mata dihadapan Nadya, dia Seilla adik dari Nadya. “Siapa ?” Tanya Nadya seolah pasang kening kerut. Sesaat ia terhenti dengan kameranya. “Kak Romy,” Kata seilla dalam menyingkat perkataan itu, ia melangkah .. Sembari Nadya begitu terdiam sesaat mendengar nama itu kembali, ‘ Kenapa harus saat ini? Kenapa harus sekarang d...