Langsung ke konten utama

CERPEN ~ LOOK AT ME, PLEASE!

Mata, diantara terpaan cahaya yang kian menyambar. Menyudutkan sebuah artian kata. Seperti aku, keinginan ku hanya satu.  Aku hanya ingin selalu ada dihidup dia. Dia yang berambut sebahu lurus yang selalu digerai indah bila ku tatap. 


Meskipun dari jauh sekaligus, dia mampu menghipnotis senyumanku yang selalu ingin ku ungkapkan padanya. Hanya dalam artian cinta, mungkin hati tau, kedua mataku jatuh hati padanya. Dan aku ingin, dia selalu bisa melihat isi hatiku.
Aku menghentakkan kedua kakiku perlahan menyusuri jalanan setapak dipinggiran lalu lalang kendaraan perkotaan. Sesekali sorotan mataku menyapu kearah sekitar jalan raya dan dihadapan pandanganku. Ku selipkan kedua telapak tanganku ke sela-sela saku celana panjang yang masih melekat diantara tubuhku.  Perlahan ku membenarkan bingkai kacamata yang melekat diantara kedua mataku sembari dengan senyuman yang tersimpul.
Ardan, itu namaku yang sering mereka sebutkan. Aku sangat nyaman dengan suasanaku yang sekarang, menurut mereka-- aku itu laki-laki yang cupu, kutu buku, sok pintar, bahkan sok merebut perhatian para guru-guru yang sangat menyukai prestasiku di sekolah. Yah, saat ini aku sedang menduduki tingkat dua di sekolahku. Aku menyukai dunia musik dah bersepeda. Kemana pun aku berada, kemana pun aku pergi, semua tak lepas dari sepeda dan earphone. Langkahku terhenti saat dia tengah berjalan di depan mataku. Aku bergeming, seolah-olah kepalan diantara jari-jariku tak tertahankan lagi. Sudut-sudut sinar mataku tak mampu mengerjapkan kelopaknya kembali. Salah satu kebiasaan yang tak bisa ku hindari saat aku menatap dan menemuinya. Aku memang menyukainya.
Alinda, nama itu yang selalu mereka sebutkan padanya. Bersama dua kawannya, dia berlalu memasuki pintu kafe disana. Sebuah tempat yang tak jauh dari tatapan mataku. Bahkan bisa dibilang hanya terpaut beberapa centi dari jarakku berdiri. Gemingku berganti, aku segera menarik langkah kearah kafe. Pikirku ingin ku temui gadis yang membuat hatiku terasa nyaman menatapnya.
"Mbak, maaf, aku boleh minta tolong?" Ucapku ke salah satu waittres.
Sembari aku memberikan salah satu kotak berbentuk mini padanya. Aku kelarkan ucapanku selanjutnya, hingga pelayan itu mengerti apa maksudku menyodorkannya sebuah kotak.
Pelan-pelan pelayan berdasi kupu-kupu itu meneruskan langkahnya hingga terhenti disamping salah satu meja yang sedang di duduki tiga perempuan. "Permisi mbak, ini ada kiriman untuk mbak Alinda. Kalau begitu, saya permisi lagi mbak." Sembari pelayan itu pun melangkah pergi setelah berucap.
Alinda yang mengenakan pakaian sweeter flower dan bandana yang cukup manis dipandang, ia meraih kotak mini tersebut diatas meja. Seraya ia berpandangan heran, menatap dengab bingung pada kawannya satu-persatu.
"Buka aja, Al. Mungkin itu kado special untukmu." Ucap salah satu kawannya yang berambut dikepang dua.
Cepat-cepat Alinda membuka kotak mini itu. Srakk, kotak telah terbuka lebar ditengah hadapannya. Kening Alinda mengernyit bingung saat memandang deretan tulisan didalam kotak. Tulisan yang dirangkai manis, yang diletakkan disebelah mawar putih yang terlihat sangat kecil di dalam kotak.
For Alinda,
Setangkai mawar putih untuk senyummu di pagi hari.
"Waaaah! So sweet banget, jangan-jangaan... ini dari..." perkataan Nila terpotong dan langsung disambar Upi, "Kak Hero!" Alinda mengalihkan pandangannya kearah selatan ruangan kafe. Ia menangkap seorang pemuda bertubuh jangkung-- berkulit putih dan mengenakan jas coklat muda tengah berdiri diujung di balik kaca kafe.
Lalu pemuda tengah menampakkan simpul senyumannya kearah Alinda dan kedua kawannya sekilas. Pemuda itu langsung menarik langkahnya pergi dari arah kafe. Hati Alinda sungguh luluh, memang sejak lama ia menyukai pemuda itu di sekolahnya. Seorang kakak tingkat sang pemain basket di sekolah dan menjadi salah satu pemuda yang banyak dikagumi para perempuan seperti dirinya.
"Al, sepertinya... Kak Hero menyukaimu juga. Lihat aja tuh! Tadi dia ngelihat kamu disini tau!" Seru Nila seraya menyenggol bahu Alinda dengan gemas. Lagi-lagi dia selalu bisa membuat pipi Alinda menjadi merah bak kepiting rebus, malu.
Aku menatap mereka disamping bangku pelayan. Kedua alisku masih bertautan, seakan-akan hatiku tak bisa menahan panasnya kecemburuan yang terdalam. Lagi-lagi perempuan yang aku suka enggan melihatku. Dia malah lebih menatap kakak kelas yang terpopuler itu lagi di sekolah. Aku bisa ikhlas, aku memang jatuh hati padanya. Meski sekalipun Alinda sama sekali tak melihatku.
***
Keesokan harinya, suasana pagi cukup menyejukkan hingga ke pori-pori kulit. Begitulah saat semilirnya angin yang mulai menyapa ditengah teriknya mentari pagi. Alinda tengah meluruskan jalannya di koridor sekolah. Ia pun memasuki ruangan kelasnya dan segera mendaratkan duduknya disalah satu kursi depan meja guru.
"Pagi Alindaa..." Sapa Upi yang sedang mendekati Alinda di bangkunya.
"Pagi juga Upi..." Sahut Alinda dengan senyuman tipis yang tersimpul.
"Alinda, nggak mau ngucapin makasih sama kak Hero? Soal kado kecil yang kak Hero kasik untukmu," kata Upi lagi, dagunya ia topangkan dipunggung jemari tangan kanannya. Sesekali kedua alisnya terangkat seolah-olah mengkode kearah Hero.
Seorang pemuda yang mengenakan seragam sekolah yang sama di tingkat menengah atas. Tampaknya laki-laki itu sedang bercengkerama bersama beberapa kawannya di depan kelas Alinda dan Upi. Sedangkan Alinda hanya melirik laki-laki itu sekilas, lalu beralih pandang pada Upi.
"Tunggu sebentar ya, pi." Seru Alinda, ia menarik langkahnya hingga meninggalkan Upi yang masih duduk disebelah bangkunya dan menghampiri Hero disana.
"Kak Hero..." Sapa Alinda pelan. Hingga Hero yang tengah berbincang bersama kawan-kawannya itu tengah mengalihkan pandangannya pada Alinda.
"Makasih ya kak? Kadonya,"
"Kado? Kado apa ya? Aku nggak ngerti."
"Loh, bukannya kakak yang kirim kado ke pelayan kafe untukku?"
"Hmm... N-nggak tuh, aku nggak ngerasa kirim kado untuk kamu."
Alinda mengernyitkan kedua alisnya dengan bingung.  Ia mengedarkan matanya dengan pandangan heran. Seakan-akan pemuda yang tingginya melebihi darinya ikut berpandangan dengan bingung.
"Oh, Alinda. Dari pada kamu bingung, bagaimana kalau aku ajak kamu jalan-jalan sambil beli es krim, mau?" Hero sesekali memberi tawaran pada Alinda.
"Jalan? Beli es krim?" Ucap Alinda dengan tanda tanya yang cukup mengherankan. Namun perlahan ia menampakkan garis senyumannya pada laki-laki itu.
***
Hamparan taman bunga di kawasan yang cukup berdekatan di pinggiran jalan raya. Alinda bersama Hero sedang berjalan dengan bercengkerama berdua di arah taman bunga. Sesekali Alinda melahap es krim stroberi yang berada diantara genggaman jari-jari tangannnya.
"Kamu... kok tau kalau aku suka es krim?" Tanya Alinda yang menengahkan percakapannya sedari tadi.
"Hmm... tau aja, mungkin aku itu punya darah keturunan dari paranormal. Makanya aku bisa tau, hebat kan!"
"Ih, kamu bisa saja! Mana ada kamu punya keturunan dari paranormal?"
"Hehehe, atau kita bisa telepati kali ya? Makanya radar aku kuat, bisa tau kesukaan kamu."

"Nyebelin,"
Begitu pun mereka selalu bercanda di pinggiran taman bunga. Dengan sorotan lalu lalang kendaraan yang mengeliling jalan raya dekat dengan taman bunga. "Herooooo!" Seru seorang gadis yang tengah memanggil nama Hero dan seolah-olah berjalan mendekati Alinda dan Hero ditengah taman.
"Hero, kamu ngapain disini? Apalagi sama cewek kayak dia, ih! Kita pulang aja yuk?" Ucap gadis yang tampak cantik dipandang di mata Alinda. Gadis itu menggeraikan rambutnya yang panjang.
"Olla! Kamu-- nggak sopan tau narik tangan aku gitu!" Gertak Hero sembari melepaskan lengannya dari genggaman gadis berkaus ungu dengan paksa.
"Hero! Kamu sejak kapan berani sama pacar kamu? Atau gara-gara dia... kamu berani ngebentak aku? Bagus banget ya kamu!" Serunya lalu sembari menarik langkah pergi dari Hero dan Alinda.
"Ollaaaaaaa... Al, aku tinggal nggak apa-apa ya?" Sahut Hero sembari menarik langkah pergi mengejar gadis itu yang jaraknya cukup jauh.
Alinda masih terdiam berdiri disana, dengan tatapan yang masih tercengang. Ia menatap arah itu dengan lekat-lekat, seakan-akan garis bibirnya tak dapat menyimpulkan sebuah kata. Hatinya kembali bergetar, merasakan panasnya air timah yang tertuang di hatinya entah sejak kapan datangnya. Yang Alinda rasakan ialah sakit dihatinya yang terdalam.
"Al, aku-- suka sama kamu." Alinda langsung menoleh ke belakang. Ia melihatku yang tengah menghentikan langkahnya di belakang Alinda.
Gadis itu hanya diam tak berbuat apa-apa. Kedua alis tebalnya terpaut menatapku dengan pandangan tajam. Aku tak bisa menahan rasaku lagi, hingga ucapan itulah yang seolah terlempar begitu saja kearahnya. Aku pasrah, akan kehendaknya membalas tembakanku saat itu juga.
Alinda melangkah pergi dengan berlari kencang melewatiku berdiri dihadapannya. Aku menatapnya seakan tak percaya, ia tak membuka suara sama sekali namun harus pergi dari depanku. Lantas aku mengejarnya berada dibelakangnya berlari. Arahnya semakin kencang hingga berhasil menyeberang kearah jalan raya yang cukup padat di siang itu. Jalanan memang ramai, akibat jam pulang kerja dan pulangnya siswa-siswi di sekolah.
Brukk,
"Aww," Ringisku hingga terdampar kembali ke pinggir jalan raya. Aku masih memegang bahuku yang terbentur sepeda dengan rasa sakit yang cukup membuatku menumpahkan air mata. Lalu hingga beberapa detik tatapanku merasa remang-remang, semuanya terasa berputar diotak. Kepalaku terasa pusing berkepanjangan yang hebat. Dan sedetik itupun aku tak merasakan apa-apa yang sedang hinggap di dekatku.
***
Beberapa kali Alinda menghela napasnya dengan gusar. Ia begitu kehilangan arah hingga mencorat-coret buku kosongnya dengan spidol hitam dijari-jari tangannya. Arrghh, spidol itu terhenti seketika saat Alinda memegang kepalanya yang terasa pusing. "Al, kamu tau kan sama Ardan? Katanya dia itu kecelakaan kemarin siang. Pas jam pulang sekolah ditaman bunga." Ujar Nila yang sedang menghampiri Alinda saat itu.
Pikiran Alinda entah kenapa mengingat kejadian kemarin. Hero- gadis bernama Olla dan Ardan yang tiba-tiba menembaknya. Dan kali ini Alinda memikirkan satu nama diantara mereka, Ardan. Pemuda berkacamata itu tengah menghampirinya saat ia terluka karena Hero. Dengan cepat Alinda menarik langkah pergi dari kelas. Hingga tiba di balkon sekolah lantai tiga. Ia menemukan Ardan sedang berdiri sendiri disana. Raut wajahnya sangat jelas tertekuk dan berkali-kali ia terlihat gusar menatap langit yang terhampar di depannya. Perlahan Alinda menghampiri Ardan, ia menatap balutan perban putih kecoklatan dilengan Ardan.
"Lengan kamu sakit ya? Aku mau minta maaf?" Ucap Alinda yang perlahan ia menghentikan langkahnya disamping Ardan.
Laki-laki itu menoleh kearah Alinda, seraya tersenyum tipis menatap gadis dihadapannya. "Nggak apa-apa, kamu nggak salah. Malah aku yang salah, harusnya aku nggak terlalu berharap bisa menyatakan isi hatiku kepadamu. Tapi maaf, aku juga nggak mau melihat kamu sakit hati gara-gara laki-laki."
"Ardan, aku boleh minta satu hal sama kamu? Aku tau, aku nggak bisa melihat kamu yang dekat sama aku. Tapi hatiku berkata, hatiku minta-- kamu bisa nolongin aku untuk move dari kak Hero. Ajarin aku, agar aku bisa sayang sama kamu dengan tulus, Dan."
Ardan tak dapat berkata mendengar ungkapan Alinda seketika padanya. Ia hanya menatap gadis itu dengan sesekali menelan ludah. Lalu sedikit ia bisa menyimpulkan garis senyuman di bibirnya.
END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Ten Best Collection Books I Love

Assalamualaikum sahabat pembaca :) Setelah sekian lama aku mengabaikan blog pribadiku ini, dan akhirnya aku bisa mengisi tulisanku disini, hehe :D Maafkan, kelamaan nggak punya ide apa-apa ngisi tulisan disini, setelah aku sering banget main-main di wattpad.. :D Ok, kali ini aku akan membahas sesuai judul yang kutulis. Yaitu 10 buku koleksiku yang paling aku suka. Sebenarnya koleksi buku aku banyak banget. Kamar aja udah hampir dibuat kayak taman bacaan gitu, hehe. Tapi dari banyak koleksi buku aku yang paling sering aku baca dan yang aku suka, aku memilih 10 buku aja. Well, membaca sebuah buku bagi kita itu sangat nggak asing. Dan banyak masyarakat yang menyukai membaca buku. Teruntuk aku sendiri, bagi aku buku itu ialah jendela semua ilmu pengetahuan. Ya meskipun dari banyaknya koleksi buku aku, memang kebanyakan novel atau buku antologi. Dan ada juga beberapa buku-buku non fiksi yang bisa digunakan untuk belajar. Tapi disemua kategori buku itu bukan berarti kita nggak bisa dap...

Secarik Kertas Dan Sebatang Pena

Jika kalian mendengar dua kata benda di judul atas, sepertinya biasa saja. Bagiku dua benda tersebut sangat luar biasa. Mengapa kubilang begitu? Tanpa kertas,  aku tak akan mengenal tulisan pena. Tanpa pena, aku tak akan mengenal secarik kertas yang biasa kutulis hampir setiap waktu senggangku. Bagiku--kedua benda di atas telah menjadi sahabat tulisanku selama hampir dua tahunan yang lalu. Mereka yang sampai saat ini selalu kukenang dalam dunia literasiku. Secarik kertas dan sebatang pena yang kukenal lama semenjak aku masih berada di bangku sekolah menengah atas. Waktu itu aku sedang menjabat sebagai anggota jurnalistik redaksi sekolahku. Tepatnya di sebuah Madrasah di kota santri Situbondo. Aku sedang bersekolah di MAN 2 Situbondo, dari sana aku mulai mengenal apa itu dunia literasi. Pertama kali lewat secarik kertas dan sebatang pena yang sering menemani waktu senggangku menulis di pojok kelas. Waktu istirahat tiba aku selalu saja mengeluarkan sebuah buku yang berisi lemb...

Cerpen- DI AKHIR SENJA BIRU

Senandung biru bertebaran menggelayuti awan putih nan salju. Semilir angin begitu menghembuskan udara segar dibalik kicauan burung dipagi hari. Pancaran cahaya terlihat jelas saat bergelantung menembus arah jendela kaca, disebuah kamar seorang gadis remaja. Derap langkah perlahan gadis itu mendekat ke sudut kaca, sembari ia meraih sebuah kamera dilentikan jemari yang telah tergenggam. Nampak jelas beberapa potretan dibalik kamera, terpajang rapi ketika gadis itu tersenyum menatap foto-foto dirinya. ‘ Krakk.. ’ Suara pintu terbuka ketika seorang gadis setengah baya tiba memasuki kamar. “Kak Nadya, ada yang cari kakak..” Ucap gadis manis berkaca mata dihadapan Nadya, dia Seilla adik dari Nadya. “Siapa ?” Tanya Nadya seolah pasang kening kerut. Sesaat ia terhenti dengan kameranya. “Kak Romy,” Kata seilla dalam menyingkat perkataan itu, ia melangkah .. Sembari Nadya begitu terdiam sesaat mendengar nama itu kembali, ‘ Kenapa harus saat ini? Kenapa harus sekarang d...