Mata, diantara terpaan cahaya yang kian menyambar. Menyudutkan sebuah
artian kata. Seperti aku, keinginan ku hanya satu. Aku hanya ingin selalu ada dihidup dia. Dia
yang berambut sebahu lurus yang selalu digerai indah bila ku tatap.
Meskipun
dari jauh sekaligus, dia mampu menghipnotis senyumanku yang selalu ingin ku
ungkapkan padanya. Hanya dalam artian cinta, mungkin hati tau, kedua mataku
jatuh hati padanya. Dan aku ingin, dia selalu bisa melihat isi hatiku.
Aku menghentakkan kedua kakiku
perlahan menyusuri jalanan setapak dipinggiran lalu lalang kendaraan perkotaan.
Sesekali sorotan mataku menyapu kearah sekitar jalan raya dan dihadapan
pandanganku. Ku selipkan kedua telapak tanganku ke sela-sela saku celana
panjang yang masih melekat diantara tubuhku.
Perlahan ku membenarkan bingkai kacamata yang melekat diantara kedua mataku
sembari dengan senyuman yang tersimpul.
Ardan, itu namaku yang
sering mereka sebutkan. Aku sangat nyaman dengan suasanaku yang sekarang,
menurut mereka-- aku itu laki-laki yang cupu, kutu buku, sok pintar, bahkan sok
merebut perhatian para guru-guru yang sangat menyukai prestasiku di sekolah. Yah, saat ini aku sedang menduduki
tingkat dua di sekolahku. Aku menyukai dunia musik dah bersepeda. Kemana pun
aku berada, kemana pun aku pergi, semua tak lepas dari sepeda dan earphone. Langkahku terhenti saat dia tengah
berjalan di depan mataku. Aku bergeming, seolah-olah kepalan diantara
jari-jariku tak tertahankan lagi. Sudut-sudut sinar mataku tak mampu
mengerjapkan kelopaknya kembali. Salah satu kebiasaan yang tak bisa ku hindari
saat aku menatap dan menemuinya. Aku memang menyukainya.
Alinda, nama itu yang
selalu mereka sebutkan padanya. Bersama dua kawannya, dia berlalu memasuki
pintu kafe disana. Sebuah tempat yang tak jauh dari tatapan mataku. Bahkan bisa
dibilang hanya terpaut beberapa centi dari jarakku berdiri. Gemingku berganti,
aku segera menarik langkah kearah kafe. Pikirku ingin ku temui gadis yang
membuat hatiku terasa nyaman menatapnya.
"Mbak, maaf, aku boleh
minta tolong?" Ucapku ke salah satu waittres.
Sembari aku memberikan salah satu kotak berbentuk mini padanya. Aku kelarkan ucapanku selanjutnya, hingga pelayan itu mengerti apa maksudku menyodorkannya sebuah kotak.
Sembari aku memberikan salah satu kotak berbentuk mini padanya. Aku kelarkan ucapanku selanjutnya, hingga pelayan itu mengerti apa maksudku menyodorkannya sebuah kotak.
Pelan-pelan pelayan
berdasi kupu-kupu itu meneruskan langkahnya hingga terhenti disamping salah
satu meja yang sedang di duduki tiga perempuan. "Permisi mbak, ini ada
kiriman untuk mbak Alinda. Kalau begitu, saya permisi lagi mbak." Sembari
pelayan itu pun melangkah pergi setelah berucap.
Alinda yang mengenakan
pakaian sweeter flower dan bandana yang cukup manis
dipandang, ia meraih kotak mini tersebut diatas meja. Seraya ia berpandangan
heran, menatap dengab bingung pada kawannya satu-persatu.
"Buka aja, Al.
Mungkin itu kado special untukmu." Ucap salah satu kawannya yang berambut
dikepang dua.
Cepat-cepat Alinda
membuka kotak mini itu. Srakk, kotak telah terbuka lebar ditengah
hadapannya. Kening Alinda mengernyit bingung saat memandang deretan tulisan
didalam kotak. Tulisan yang dirangkai manis, yang diletakkan disebelah mawar
putih yang terlihat sangat kecil di dalam kotak.
For
Alinda,
Setangkai
mawar putih untuk senyummu di pagi hari.
"Waaaah! So sweet
banget, jangan-jangaan... ini dari..." perkataan Nila terpotong dan
langsung disambar Upi, "Kak Hero!" Alinda
mengalihkan pandangannya kearah selatan ruangan kafe. Ia menangkap seorang
pemuda bertubuh jangkung-- berkulit putih dan mengenakan jas coklat muda tengah
berdiri diujung di balik kaca kafe.
Lalu pemuda tengah
menampakkan simpul senyumannya kearah Alinda dan kedua kawannya sekilas. Pemuda itu langsung menarik langkahnya
pergi dari arah kafe. Hati Alinda sungguh luluh, memang sejak lama ia menyukai
pemuda itu di sekolahnya. Seorang kakak tingkat sang pemain basket di sekolah
dan menjadi salah satu pemuda yang banyak dikagumi para perempuan seperti
dirinya.
"Al, sepertinya...
Kak Hero menyukaimu juga. Lihat aja tuh! Tadi dia ngelihat kamu disini
tau!" Seru Nila seraya menyenggol bahu Alinda dengan gemas. Lagi-lagi dia
selalu bisa membuat pipi Alinda menjadi merah bak kepiting rebus, malu.
Aku menatap mereka
disamping bangku pelayan. Kedua alisku masih bertautan, seakan-akan hatiku tak
bisa menahan panasnya kecemburuan yang terdalam. Lagi-lagi perempuan yang aku
suka enggan melihatku. Dia malah lebih menatap kakak kelas yang terpopuler itu
lagi di sekolah. Aku bisa ikhlas, aku memang jatuh hati padanya. Meski
sekalipun Alinda sama sekali tak melihatku.
***
Keesokan harinya, suasana
pagi cukup menyejukkan hingga ke pori-pori kulit. Begitulah saat semilirnya
angin yang mulai menyapa ditengah teriknya mentari pagi. Alinda tengah
meluruskan jalannya di koridor sekolah. Ia pun memasuki ruangan kelasnya dan
segera mendaratkan duduknya disalah satu kursi depan meja guru.
"Pagi
Alindaa..." Sapa Upi yang sedang mendekati Alinda di bangkunya.
"Pagi juga
Upi..." Sahut Alinda dengan senyuman tipis yang tersimpul.
"Alinda, nggak mau
ngucapin makasih sama kak Hero? Soal kado kecil yang kak Hero kasik
untukmu," kata Upi lagi, dagunya ia topangkan dipunggung jemari tangan
kanannya. Sesekali kedua alisnya terangkat seolah-olah mengkode kearah Hero.
Seorang pemuda yang
mengenakan seragam sekolah yang sama di tingkat menengah atas. Tampaknya
laki-laki itu sedang bercengkerama bersama beberapa kawannya di depan kelas
Alinda dan Upi. Sedangkan Alinda hanya melirik laki-laki itu sekilas, lalu
beralih pandang pada Upi.
"Tunggu sebentar ya,
pi." Seru Alinda, ia menarik langkahnya hingga meninggalkan Upi yang masih
duduk disebelah bangkunya dan menghampiri Hero disana.
"Kak Hero..."
Sapa Alinda pelan. Hingga Hero yang tengah berbincang bersama kawan-kawannya
itu tengah mengalihkan pandangannya pada Alinda.
"Makasih ya kak?
Kadonya,"
"Kado? Kado apa ya?
Aku nggak ngerti."
"Loh, bukannya kakak
yang kirim kado ke pelayan kafe untukku?"
"Hmm... N-nggak tuh,
aku nggak ngerasa kirim kado untuk kamu."
Alinda mengernyitkan
kedua alisnya dengan bingung. Ia mengedarkan matanya dengan pandangan
heran. Seakan-akan pemuda yang tingginya melebihi darinya ikut berpandangan
dengan bingung.
"Oh, Alinda. Dari
pada kamu bingung, bagaimana kalau aku ajak kamu jalan-jalan sambil beli es
krim, mau?" Hero sesekali memberi tawaran pada Alinda.
"Jalan? Beli es
krim?" Ucap Alinda dengan tanda tanya yang cukup mengherankan. Namun
perlahan ia menampakkan garis senyumannya pada laki-laki itu.
***
Hamparan taman bunga di
kawasan yang cukup berdekatan di pinggiran jalan raya. Alinda bersama Hero
sedang berjalan dengan bercengkerama berdua di arah taman bunga. Sesekali
Alinda melahap es krim stroberi yang berada diantara genggaman jari-jari
tangannnya.
"Kamu... kok tau
kalau aku suka es krim?" Tanya Alinda yang menengahkan percakapannya
sedari tadi.
"Hmm... tau aja,
mungkin aku itu punya darah keturunan dari paranormal. Makanya aku bisa tau,
hebat kan!"
"Ih, kamu bisa saja!
Mana ada kamu punya keturunan dari paranormal?"
"Hehehe, atau kita
bisa telepati kali ya? Makanya radar aku kuat, bisa tau kesukaan kamu."
"Nyebelin,"
Begitu pun mereka selalu
bercanda di pinggiran taman bunga. Dengan sorotan lalu lalang kendaraan yang
mengeliling jalan raya dekat dengan taman bunga. "Herooooo!" Seru
seorang gadis yang tengah memanggil nama Hero dan seolah-olah berjalan
mendekati Alinda dan Hero ditengah taman.
"Hero, kamu ngapain
disini? Apalagi sama cewek kayak dia, ih! Kita pulang aja yuk?" Ucap gadis
yang tampak cantik dipandang di mata Alinda. Gadis itu menggeraikan rambutnya
yang panjang.
"Olla! Kamu-- nggak
sopan tau narik tangan aku gitu!" Gertak Hero sembari melepaskan lengannya
dari genggaman gadis berkaus ungu dengan paksa.
"Hero! Kamu sejak
kapan berani sama pacar kamu? Atau gara-gara dia... kamu berani ngebentak aku?
Bagus banget ya kamu!" Serunya lalu sembari menarik langkah pergi dari
Hero dan Alinda.
"Ollaaaaaaa... Al,
aku tinggal nggak apa-apa ya?" Sahut Hero sembari menarik langkah pergi
mengejar gadis itu yang jaraknya cukup jauh.
Alinda masih terdiam
berdiri disana, dengan tatapan yang masih tercengang. Ia menatap arah itu
dengan lekat-lekat, seakan-akan garis bibirnya tak dapat menyimpulkan sebuah
kata. Hatinya kembali bergetar, merasakan panasnya air timah yang tertuang di
hatinya entah sejak kapan datangnya. Yang Alinda rasakan ialah sakit dihatinya
yang terdalam.
"Al, aku-- suka sama
kamu." Alinda langsung menoleh ke belakang. Ia melihatku yang tengah
menghentikan langkahnya di belakang Alinda.
Gadis itu hanya diam tak
berbuat apa-apa. Kedua alis tebalnya terpaut menatapku dengan pandangan tajam.
Aku tak bisa menahan rasaku lagi, hingga ucapan itulah yang seolah terlempar
begitu saja kearahnya. Aku pasrah, akan kehendaknya membalas tembakanku saat
itu juga.
Alinda melangkah pergi
dengan berlari kencang melewatiku berdiri dihadapannya. Aku menatapnya seakan
tak percaya, ia tak membuka suara sama sekali namun harus pergi dari depanku.
Lantas aku mengejarnya berada dibelakangnya berlari. Arahnya semakin kencang
hingga berhasil menyeberang kearah jalan raya yang cukup padat di siang itu.
Jalanan memang ramai, akibat jam pulang kerja dan pulangnya siswa-siswi di
sekolah.
Brukk,
"Aww," Ringisku
hingga terdampar kembali ke pinggir jalan raya. Aku masih memegang bahuku yang
terbentur sepeda dengan rasa sakit yang cukup membuatku menumpahkan air mata.
Lalu hingga beberapa detik tatapanku merasa remang-remang, semuanya terasa
berputar diotak. Kepalaku terasa pusing berkepanjangan yang hebat. Dan sedetik
itupun aku tak merasakan apa-apa yang sedang hinggap di dekatku.
***
Beberapa kali Alinda
menghela napasnya dengan gusar. Ia begitu kehilangan arah hingga mencorat-coret
buku kosongnya dengan spidol hitam dijari-jari tangannya. Arrghh, spidol itu terhenti seketika saat
Alinda memegang kepalanya yang terasa pusing. "Al, kamu tau kan sama
Ardan? Katanya dia itu kecelakaan kemarin siang. Pas jam pulang sekolah ditaman
bunga." Ujar Nila yang sedang menghampiri Alinda saat itu.
Pikiran Alinda entah
kenapa mengingat kejadian kemarin. Hero- gadis bernama Olla dan Ardan yang
tiba-tiba menembaknya. Dan kali ini Alinda memikirkan satu nama diantara
mereka, Ardan. Pemuda berkacamata itu tengah menghampirinya saat ia terluka
karena Hero. Dengan cepat Alinda menarik langkah pergi dari kelas. Hingga tiba
di balkon sekolah lantai tiga. Ia menemukan Ardan sedang berdiri sendiri
disana. Raut wajahnya sangat jelas tertekuk dan berkali-kali ia terlihat gusar
menatap langit yang terhampar di depannya. Perlahan Alinda menghampiri Ardan,
ia menatap balutan perban putih kecoklatan dilengan Ardan.
"Lengan kamu sakit
ya? Aku mau minta maaf?" Ucap Alinda yang perlahan ia menghentikan
langkahnya disamping Ardan.
Laki-laki itu menoleh
kearah Alinda, seraya tersenyum tipis menatap gadis dihadapannya. "Nggak
apa-apa, kamu nggak salah. Malah aku yang salah, harusnya aku nggak terlalu
berharap bisa menyatakan isi hatiku kepadamu. Tapi maaf, aku juga nggak mau
melihat kamu sakit hati gara-gara laki-laki."
"Ardan, aku boleh
minta satu hal sama kamu? Aku tau, aku nggak bisa melihat kamu yang dekat sama
aku. Tapi hatiku berkata, hatiku minta-- kamu bisa nolongin aku untuk move dari
kak Hero. Ajarin aku, agar aku bisa sayang sama kamu dengan tulus, Dan."
Ardan
tak dapat berkata mendengar ungkapan Alinda seketika padanya. Ia hanya menatap
gadis itu dengan sesekali menelan ludah. Lalu sedikit ia bisa menyimpulkan
garis senyuman di bibirnya.
END
Komentar
Posting Komentar