Langsung ke konten utama

Cerpen- Allah Masih Di Sampingku (Diterbitkan oleh Acong Publisher dalam Antologi Cerpen Tuhan Selalu Bersamaku)


Pagi itu—aku masih berada di dalam ruang kelas XII-IPA1. Tampaknya suasana kelas sedang ramai dengan kegaduhan teman-teman sekelasku yang kebetulan pagi itu sedang tidak ada pelajaran. Aku masih berkutat dengan tulisanku di atas meja yang kini menjadi bangkuku. Aku memang tidak suka bergaduh dan bergabung bersama teman-teman lainnya. Di setiap jam pelajaran sedang kosong, aku selalu menyempatkan diriku untuk menulis. Entah itu menulis sebuah cerita atau pun sebuah kata-kata berbentuk puisi.
Kertas kosong itu sedang kutulis tentang kisahku bersama ibu. Seorang wanita paruh baya yang masih cantik di mataku dan yang paling kusayang. Aku sudah menuliskannya selama tiga hari ini.

Dan sekarang—aku mencoba meneruskan kisahku untuk ibu di lembar kertas yang sedang kupegang. Bu, Siska mau ibu tahu, kalau Siska sayang sama ibu. Ibu harus baca cerita yang kutulis ini. Siska yakin, ibu pasti suka, nada batinku berguman pelan. Seraya senyumanku terulas tipis menatap beberapa lembar kertas di atas meja.

“Siska, kamu dipanggil sama bu Anita di depan kantor guru. Beliau pesan, kamu disuruh meringkas tasmu untuk menemui beliau. Aku pergi dulu ya,” sahut salah satu teman sekelasku lalu kembali melesat keluar dari kelas. Aku tak sempat menjawab perkataannya. Aku malah masih tercenung mendengar perkataan temanku itu. Seolah-olah berbagai pertanyaan terlontar begitu saja memenuhi isi kepalaku. Bu Anita memanggilku untuk apa? Dan mengapa aku harus meringkas tasku keluar untuk menemui beliau?, pikirku mulai gelisah.

Aku menghela napas sejenak, lalu beranjak dan memasukkan barang-barang alat tulisku di atas meja ke dalam tas hitam pekat yang mulai kusandang di bahuku. Aku berjalan pelan hingga menuju keluar kelas dan menghampiri depan kantor sekolah. Ternyata temanku benar, bu Anita--salah satu guru agama di sekolah, sedang menungguku di sana. Jantungku mulai berdebar cukup kencang. Merasakan perasaan yang kurang mengenakkan bagi hatiku. Semoga saja bu Anita tidak memarahiku, pikirku.

“As-assalamualaikum, bu Anita?” sapaku cukup gugup saat menghentikan langkah di samping beliau. Seorang guru yang tampak mengenakan kerudung cokelat bersenada dengan pakaiannya. Bu Anita mulai menengok ke arahku dengan tatapan teduh.

“Waalaikumsalam. Siska, kamu segera pulang saja sekarang ya? Ibu sudah buatkan surat izin dari sekolah untukmu.” sahut bu Anita yang sempat membuatku menimbulkan tanda tanya. Aku mulai bingung dan seolah tak mengerti apa maksud dari bu Anita.

“K-kenapa saya harus pulang, bu?” tanyaku dengan ragu.

“Kamu pulang saja, nak. Saudaramu sudah menjemput di depan gerbang.” jawab bu Anita yang lagi-lagi menyuruhku agar segera kembali ke rumah. Tanpa banyak berkata kembali, aku pun membalikkan badanku untuk segera melesat pergi dari hadapan bu Anita. Aku masih melemparkan banyak pertanyaan membingungkan di pikiranku. Ada apa? Entah kenapa hatiku masih berdegup cukup cepat. Ya Allah... Semoga semuanya baik-baik saja, batinku.

***

Sesampainya aku di depan halaman rumah, aku menatap banyak orang yang sedang menghampiri rumahku. Mereka sangat banyak dan beberapa diantara mereka sedang menatapku penuh teduh. Aku mengernyitkan keningku kembali, seakan tak mengerti. Mengapa semua orang berada di depan rumahku? Memangnya ada apa di dalam rumah?, batinku masih bertanya-tanya. Cepat-cepat aku melepas sepatu yang membungkus kakiku dan segera menerobos pintu rumah.

“Assalam—“ belum sempat aku menyelesaikan salamku, aku pun jatuh terduduk di balik pintu saat menatap seorang wanita tua yang tergeletak dan berbaring di atas lantai. Wanita tua itu terbungkus dengan kain kafan putih dan memejamkan matanya sempurna. Lagi-lagi derai tangisku kembali hadir membasahi wajah. Pelan-pelan air mataku mengalir hingga sangat deras. Seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan kopyah hitam itu sedang mendekatiku dan mendekapku dalam pelukannya.

“B-bapak... Ibu kenapa? Kenapa ibu tidur di sini? K-kenapa mata ibu masih terpejam? K-kenapa tubuh ibu terbungkus kain kafan? Ibu masih ada kan, pak?” gumamku dengan isakan yang tak dapat tertahankan. Deretan bibir mungilku masih bergetar mencoba menghentikan tangis. Meski tangisanku masih tak dapat terbendung sempurna. Air mataku masih mengucur deras. Kulihat--laki-laki tua di sampingku sedang menangis dan menggelengkan kepalanya pelan. Membuatku semakin mengeluarkan isakan yang amat keras menyebut nama ibu.

Aku memang tak dapat menerima hal ini terjadi padaku. Ibu pergi secepat yang kukira. Padahal baru pagi tadi aku menyelesaikan tulisan kisahku untuk ibu. Aku ingin memberikan ibu sebuah tulisan dariku, aku ingin ibu tahu—kalau aku sangat suka menulis tentang beliau. Tapi Allah berkata lain, ibu sudah tiada. Allah mengambil ibu dariku, Allah lebih sayang pada ibuku. Hingga aku tak mendapatkan kesempatan untuk membuat ibu tersenyum. Aku ingat dosa-dosaku. Apa yang kulakukan pada ibu kemarin, itu sangat membuat diriku bersalah. Ya Allah jaga ibu, gumam hatiku yang masih sulit membendung air mata.

Laki-laki tua berkopyah hitam itu masih mendekapkan tubuhku di bahunya. Beliau mencoba menampilkan senyumannya walau tampak getir yang kurasakan. “Ibu sudah pulang menghadap Allah sayang. Kamu ikhlaskan ibumu, Siska masih punya bapak. Punya adik dan punya saudara-saudara Siska lainnya. Tugas Siska berdoa sama Allah, agar ibu selalu diberikan ampunan dan diterima amal baiknya di sisi Allah.”

Aku mendengar perkataan laki-laki tua berkopyah itu yang menjadi bapak kandungku. Isakanku masih terdengar walau hanya samar-samar. “Pak... Jangan tinggalkan Siska. Siska nggak mau sendirian.” ucapku dalam tangis. Pelukan bapak masih begitu hangat menenangkanku. Hingga di hari itu—jenazah ibu dikuburkan di pemakaman keluarga. Sedang aku masih tak dapat menenangkan diriku dari air mata. Aku masih tercenung dan masih mengingat wajah ibu.

***

Hari-hari berganti dengan cepat, hingga tujuh hari ibu sudah usai. Aku masih tetap menahan tangis di dalam kamar, seolah-olah air mataku masih tertumpah ruah di atas alquran yang sedang kubaca. Sampai saat itu pun, aku masih merasakan keberadaan ibu masih mendekam bersamaku. Akhir-akhir itu nilai ujianku berantakan. Bahkan keadaan tak seperti biasanya menampilkan senyuman selama bersekolah. Aku merasa tak peduli dengan berbagai mata pelajaran di hadapanku. Pikiranku terpenuhi tentang ibu, ibu dan ibu.

Aku masih tak menerima kenyataan yang terjadi padaku. Rasanya baru kemarin aku mendengarkan tawa renyah dari ibu. Dan saat ini aku tak dapat mendengar bahkan melihat wajah cantik beliau. Aku banyak berdosa padamu, ibu..., sahut batinku lagi.
Bapak selalu memarahiku di rumah. Beliau marah padaku lantaran semua nilai ujian sekolah turun dari nilaiku biasanya. Berkali-kali bapak mengeluh padaku soal kebutuhan keluarga kecilnya. Biaya sekolahku dan adik, dan biaya untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Semenjak ibu tiada, entah mengapa rezeki yang biasa bapak dapatkan menipis. Adik selalu menggerutu pada bapak, lantaran bapak selalu meminta restu padaku dan adik untuk segera menikah lagi. Padahal baru terhitung beberapa hari ibu meninggal, pikirku kesal. Justru aku tak mengizinkan laki-laki tua itu untuk segera menggantikan sosok ibu kemarin. Aku sungguh tidak mau!, pekik hatiku.

”Sis, dipanggil ke ruang konselling tuh, katanya bu Amira mau mengobrol penting denganmu.” sahut salah temanku lagi. Membuat lamunanku buyar saat mendengarkan perkataannya. Aku pun tak membalas perkataan temanku, dan langsung beranjak pergi keluar kelas. Dan langsung menuju ke ruang BK.

“Siska, kenapa akhir-akhir ini—nilai ujianmu banyak yang turun? Ibu tahu kalau kamu masih berduka dengan kepergian ibu kamu. Tapi ingat Siska, sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian akhir sekolah. Kalau nilai kamu tidak terangkat, ini bisa jadi pengaruh bagi kelulusanmu. Kamu bisa mengecewakan bapak dan almarhum ibumu, nak. Belajar lagi ya? Ini nilai ujian sementaramu, ibu berikan.” ujar bu Amira selaku guru BP. Sedari tadi aku hanya bisa bergeming—seolah kembali menundukkan pandanganku. Lalu kuterima amplop cokelat yang berisi nilai-nilai ujianku dari tangan bu Amira. Ya Allah... Berikan aku ketabahanmu, aku sungguh tidak mau mengecewakan ibu di sisimu ya Allah, batinku bergumam.

Selepas pulang dari sekolah, aku tak berniat kembali ke rumah untuk beberapa jam nanti. Saat ini aku sedang berada di ujung bukit dekat perumahan yang kusinggahi. Aku sengaja menghentikan jejak kakiku di pinggir ujung bukit. Rasanya nyaman berada di sini. Aku ingat benar, saat ibu dan bapak mengajakku bersama adik ke tengah bukit ini beberapa waktu silam. Tapi aku rasa—tidak mungkin lagi aku akan menginjak bukit ini bersama mereka. Sepeninggal ibu, bapak tak pernah mengajakku ke sini lagi. Beliau bilang—beliau tidak ingin menangis karena mengingat kepergian ibu. Bukit ini menjadi tempat kenanganku bersama keluarga kecilku yang saat ini berbeda.

”Siska, kamu sedang di sini rupanya?” suara itu sedang memanggilku. Aku menengok ke belakang, mencoba menemukan suara yang sangat kurindukan. Ibu..., sahut hatiku pelan. Ketika aku benar-benar menatap wajah ibu yang akan mendekat padaku. Aku kembali mematung menunggu ibu berhenti di sisiku.

“Ibu? Ibu di sini juga? Ibu... Kenapa tidak kembali ke rumah? Aku kesepian nggak ada ibu di rumah. B-bapak juga sering sedih saat ingat ibu. Adik sering diam sekarang, karena nggak ada ibu. Ibu.... Ayo kembali ke rumah? Kami kangen ibu.” sahutku saat sosok ibu kini hadir di sampingku. Rupanya ibu sedang tersenyum memandangku yang sedang tak tahan lagi mencuatkan air mata.

“Sayang... Ibu masih di sini. Di hati Siska. Ibu mendekam bersama suara hatimu, nak. Ibu nggak bisa kembali ke rumah. Maaf, ibu bersama Allah sekarang. Ibu baik-baik saja di surga Allah. Ibu ke sini... Hanya ingin lihat kamu. Anak gadis yang paling ibu sayangi. Tulisanmu sangat bagus, nak. Ibu sudah baca kisah yang kau buat untuk ibu. Ibu sangat suka baca hasil tulisanmu.” sahut sosok ibu yang sedang berada di sisiku. Suara isakan semakin terdengar seakan menumpahkan cairan air mata yang semakin deras menatap wajah ibu.

“Makasih, bu. Ibu sudah baca kisah yang sedang kutulis. Ibu kenapa pergi begitu cepat? Siska sangat rindu ibu, Siska banyak salah sama ibu. Siska belum sempat buat ibu tersenyum. Siska... Mau ibu kembali ke rumah. Siska tahu kalau permintaan Siska ini sangat sulit. Katanya Allah sayang sama kita. Tapi kenapa Allah ngambil ibu dari aku? Kenapa Allah buat keluarga yang kusayang, jadi nggak seindah waktu ibu ada?” aku menghentikan perkataanku. Lalu sejenak menghela napas yang masih tertahan oleh isakanku yang semakin mengerang.

Pelan-pelan tangan ibu mengelus puncak kerudung yang menutupi kepalaku. Aku terhenyak, semakin nyata rasa ketakutanku akan kehilangan ibu kembali. Meski aku tahu, sebentar lagi—aku tak bisa melihat wajah ibu kembali. “Nak... Ibu tahu kamu sedang sedih memikirkan ibu. Ibu tahu kamu merindukan kebersamaan kita yang dulu. Ibu tahu kamu sedang ada masalah sama ujian sekolahmu. Ibu juga tahu kamu sedang menyalahkan ketetapan yang Allah kasik untuk keluarga kita.”

Aku mendengar semua sahutan ibu, tanpa kujawab perkataan beliau. Ibu mengulas senyuman tipis mengelus puncak kerudungku. Rasanya sangat hangat, sudah lama aku tak merasakan elusan ibu. Aku sangat rindu. “Siska... Kamu nggak mau buat ibu kecewa sama kamu bukan? Kamu juga nggak kamu kalau bapak terus menyalahkanmu di rumah? Allah itu selalu ketika hambanya butuh, nak. Allah nggak pernah salah menetapkan keputusan bagi hamba-hambanya. Meskipun... Bagimu itu tak adil. Tapi Allah masih sayang sama kamu dan keluarga kita. Kamu harus tetap semangat belajar, biar nanti kamu bisa lulus dan masuk kampus impianmu. Buat bapak dan ibu bangga melihatmu, nak. Dan hadirkan Allah selalu berada di hatimu. Insyaallah semua yang kamu jalani hanya karena Allah, akan mudah.”

Sosok ibu perlahan kembali menjadi bayangan—lalu menghilang begitu saja di hadapanku. Aku tertegun tak mendengar lagi suara yang sangat kurindukan itu. Lagi-lagi ibu pergi meninggalkanku. Aku masih ingat perkataan yang baru saja ibu ungkapkan untukku. Pelan-pelan kuusap air mataku yang cukup deras menjejak memenuhi wajahku. Kembali kuhela napasku yang cukup tertahan oleh separuh isakanku. Siska, kamu harus ikhlas. Tanamkan bahwa Allah ada di hatimu, sama waktu kamu menhadirkan ibu ada di hatimu, suara itu kembali menggema tanpa kulihat lagi wujudnya. Pelan aku mengangguk memahami perkataan bayangan ibu.

Bismillah..., gumam hatiku lalu kulesatkan langkahku dari atas bukit hingga kembali kerumah.

***

Beberapa bulan telah berlalu, waktu ujian itu kembali hadir di hariku. Kukerjakan beberapa lembar soal dan jawaban yang berada di hadapanku dengan penuh keyakinan. Ya Allah... Aku yakin, engkau selalu ada untukku. Jangan biarkan aku mengecewakan bapak dan almarhumah ibuku, ya Allah. Beri hamba kemudahan menyelesaikan ujian ini, gumam hatiku lagi. Goresan pena itu sedang mencoret lembaran ujianku. Rupanya aku suasanaku sedang semangat mengerjakan ujian-ujian akhir ini. Bismillah... Semoga hasilku ini membuat bapak bangga padaku. Hatiku kembali meyakinkan kalimat tersebut.

Hingga ujian akhir masa putih abu-abuku telah berlalu. Sudah saatnya kumenantikan pengumuman yang membuatku merasakan degupan jantung yang cukup berirama cepat. Ah! Lagi-lagi aku tak sempat tenang. Begitu hatiku selalu menggerutu sebal. Kulihat kerumunan murid kelas akhir sepertiku sedang berkerubut menghampiri mading sekolah. Mereka seolah-olah seperti semut yang sedang berbondong-bondong cepat mengambil satu makanan yang tersisa.

Ada apa ya di sana?, gumam hatiku seakan melempar pertanyaan. Perlahan kembali kulangkahkan kakiku dari balik pintu kelas semakin mendekat ke arah koridor. Mengunjungi tempat mading yang membuat orang-orang itu berkerubut penuh di sana. Lagi-lagi aku merasakan irama jantung yang semakin cepat. Aku malah semakin ingin mengetahui. Tap, kakiku terhenti tepat di depan mading yang berjarak cukup dekat dari pandanganku. Namun beberapa murid sepantaranku sedang berkerubut penuh penuh sesak di depan mading.

“Siska... Selamat ya atas keberhasilanmu. Menduduki lulusan pertama yang terbaik di sekolah. Nilai ujian akhirmu sangat bagus.” seru Nila salah satu kawan sekelasku saat ia mulai menghampiriku di depan mading. Aku terhenyak mendengar perkataannya. Seolah masih bingung dengan perkataan Nila. Aku mengernyitkan keningku.

“Iya Siska... Itu lihat ada namamu dia atas sana!” Nila menunjukkan telunjuknya ke atas sisi mading. Di sana terdapat selembar kertas yang tertulis peringkat lulusan terbaik ujian akhir.

Aku melihat namaku berada di urutan pertama, “Siska Aliya Riyanti” dengan nilai rata-rata sembilan. Lagi-lagi aku mencoba mengerjap-ngerjapkan kedua pandanganku seakan tak percaya--namaku sedang terpampang urutan pertama lulusan terbaik.

Lantas beberapa bulir air mata itu mencuat dari kelopak mataku kembali. Tangisanku kembali hadir seperti biasanya. Aku tak bisa percaya aku sedang berhasil mencapai nilai terbaik. Air mata yang menguak itu ialah tangis kebahagiaan bagiku. “Alhamdulillah,” seru batinku seraya jari-jariku menyeka air mata yang mengalir deras di wajahku. Pelan-pelan aku menengok ke arah samping, di balik pintu lobby aku menatap sosok wajah ibu kembali berdiri di sana dengan senyuman yang merekah. Senyuman itu ia lemparkan padaku. Aku membalasnya dengan senyuman yang kutahan dengan tangisku menatap wajah yang kurindukan.

Ibu benar, Allah masih tertanam di dalam hatiku. Allah tak kan meninggalkanku sendiri tanpa senyuman ibu yang hadir dulu. Terima kasih ya rabb, gumam hatiku.

END

Catatan: Cerpen karyaku yang telah diterbitkan oleh Acong Publisher Bandung-dalam event semangat menulis "Tuhan Selalu Bersamaku". Cerpen ini masih tulisan mentahku tanpa editan dari penerbit :D Silahkan dibaca :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Ten Best Collection Books I Love

Assalamualaikum sahabat pembaca :) Setelah sekian lama aku mengabaikan blog pribadiku ini, dan akhirnya aku bisa mengisi tulisanku disini, hehe :D Maafkan, kelamaan nggak punya ide apa-apa ngisi tulisan disini, setelah aku sering banget main-main di wattpad.. :D Ok, kali ini aku akan membahas sesuai judul yang kutulis. Yaitu 10 buku koleksiku yang paling aku suka. Sebenarnya koleksi buku aku banyak banget. Kamar aja udah hampir dibuat kayak taman bacaan gitu, hehe. Tapi dari banyak koleksi buku aku yang paling sering aku baca dan yang aku suka, aku memilih 10 buku aja. Well, membaca sebuah buku bagi kita itu sangat nggak asing. Dan banyak masyarakat yang menyukai membaca buku. Teruntuk aku sendiri, bagi aku buku itu ialah jendela semua ilmu pengetahuan. Ya meskipun dari banyaknya koleksi buku aku, memang kebanyakan novel atau buku antologi. Dan ada juga beberapa buku-buku non fiksi yang bisa digunakan untuk belajar. Tapi disemua kategori buku itu bukan berarti kita nggak bisa dap...

Secarik Kertas Dan Sebatang Pena

Jika kalian mendengar dua kata benda di judul atas, sepertinya biasa saja. Bagiku dua benda tersebut sangat luar biasa. Mengapa kubilang begitu? Tanpa kertas,  aku tak akan mengenal tulisan pena. Tanpa pena, aku tak akan mengenal secarik kertas yang biasa kutulis hampir setiap waktu senggangku. Bagiku--kedua benda di atas telah menjadi sahabat tulisanku selama hampir dua tahunan yang lalu. Mereka yang sampai saat ini selalu kukenang dalam dunia literasiku. Secarik kertas dan sebatang pena yang kukenal lama semenjak aku masih berada di bangku sekolah menengah atas. Waktu itu aku sedang menjabat sebagai anggota jurnalistik redaksi sekolahku. Tepatnya di sebuah Madrasah di kota santri Situbondo. Aku sedang bersekolah di MAN 2 Situbondo, dari sana aku mulai mengenal apa itu dunia literasi. Pertama kali lewat secarik kertas dan sebatang pena yang sering menemani waktu senggangku menulis di pojok kelas. Waktu istirahat tiba aku selalu saja mengeluarkan sebuah buku yang berisi lemb...

Cerpen- DI AKHIR SENJA BIRU

Senandung biru bertebaran menggelayuti awan putih nan salju. Semilir angin begitu menghembuskan udara segar dibalik kicauan burung dipagi hari. Pancaran cahaya terlihat jelas saat bergelantung menembus arah jendela kaca, disebuah kamar seorang gadis remaja. Derap langkah perlahan gadis itu mendekat ke sudut kaca, sembari ia meraih sebuah kamera dilentikan jemari yang telah tergenggam. Nampak jelas beberapa potretan dibalik kamera, terpajang rapi ketika gadis itu tersenyum menatap foto-foto dirinya. ‘ Krakk.. ’ Suara pintu terbuka ketika seorang gadis setengah baya tiba memasuki kamar. “Kak Nadya, ada yang cari kakak..” Ucap gadis manis berkaca mata dihadapan Nadya, dia Seilla adik dari Nadya. “Siapa ?” Tanya Nadya seolah pasang kening kerut. Sesaat ia terhenti dengan kameranya. “Kak Romy,” Kata seilla dalam menyingkat perkataan itu, ia melangkah .. Sembari Nadya begitu terdiam sesaat mendengar nama itu kembali, ‘ Kenapa harus saat ini? Kenapa harus sekarang d...